Jumat, 05 Juli 2013

Prinsip Pendidikan Karakter Islami Di Sekolah

Tidak ada komentar:
Konsep Dasar Pendidikan Karakter Islami adalah :
Ø Pengertian dan Tujuan
Ø Dasar pembentukan karakter manusia
Ø Urgensi pembentukan karakter bangsa
Ø Urgensi pembentukan karakter Islami

Apa Itu Karakter?

Karakter secara harfiyah berasal dari bahasa Latin “character”, yang berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.

Secara istilah karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya di mana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Jadi karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat-istiadat.

Karakter = akhlak dan budi pekerti. Karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa/budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik.

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah penanaman nilai esensial dengan  pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values ke dalam kepribadiannya. Pendidikan karakter dalam grand desain pendidikan karakter, adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat

Pendidikan karakter dalam Islam dapat dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan kepada anak didik dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antarsesama, dan lingkungannya sebagai manifestasi hamba dan khalifah Allah

Manifestasi hamba dan khalifah-Nya

Sesuai dengan al-Dhariyat (51): 56; al-Bayyinah (98): 5;dan al-Baqarah (2): 30.
Maka hanya orang yang bertakwalah yang mampu menunjukkan sebagai pribadi hamba dan khalifah Allah.
Jadi, tujuan pendidikan karakter Islami: menjadikan anak didik sebagai hamba dan khalifah Allah yang berkualitas taqwa. Pekerjaan atau aktifitas taqwa meliputi semua bidang mulai dari keyakinan hidup, ibadah, moralitas, aktifitas interaksi sosial, cara berfikir, hingga gaya hidup.

Indikator orang berkualitas taqwa menurut al-Qur’an:
1.    Memiliki keyakinan yang membara dan kuat bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu (QS. 2: 3)
2.    Memiliki perspektif jangka panjang. Kebiasaan memandang jauh ke depan sehingga menjadi pribadi yang proaktif (QS. 59: 18)
3.    Memiliki obsesi dan cita-cita yang sangat tinggi. Berambisi menjadi orang yang berilmu dan berharta untuk didayagunakan di jalan kebaikan untuk mencapi ridho Allah (QS. 2: 218)
4.    Mempunyai speed dalam berprestasi; selalu mengejar mutu pada semua aspek kepribadian; keunggulan dan kesempurnaan selalu menjadi standar dalam meningkatkan kualitas diri, sehingga peluang besar menuju kesuksesan akan dapat diraih (QS. 3: 153; QS. 5: 48)
5.    Selalu berobsesi menjadi yang terdepan. Siap memasuki medan kompetisi dalam kebaikan secara sehat dan konstruktif. Dunia dijadikan sarana mengabdi dan mendekat kepada Allah dan berbuat amal kebaikan kepada sesama. Orang yang bertaqwa tidak layak bekerja, berusaha, berprestasi seadanya, tanpa greget, tanpa target, dan tanpa kualitas unggul (QS. 5: 48; QS. 23: 61)
6.    Waktu-waktunya efektif dan produktif; membiasakan bekerja dengan tingkat efesiensi, efektifitas, dan produktifitas tinggi. Meninggalkan segalaperkataan dan tindakan yang tidak bermanfaat (QS. 23: 1 dan 3)
7.    Memiliki semangat kolektif dan kolaboratif. Kebersamaan, sinergi, dan harmoni menjadi watak kehidupan sebagaimana alam ini diciptakan. Mewujudkan keunggulan dalam kebaikan akan mudah diraih dengan kemampuan bekerjasama dan tolong menolong dengan sesama (QS. 5: 3)

Dasar Pembentukan Karakter

Sifat dasar manusia yang diberikan Allah adalah sifat fujur (cenderung kepada keburukan/kefasikan) dan sifat taqwa (cenderung kepada kebaikan), sebagaimana QS. Al-Shams, 91: 7-8. kedua sifat inilah yang menjadi dasar pembentukan karakter (nilai baik atau buruk). Nilai baik disimbolkan dengan nilai malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai setan. Karakter manusia adalah hasil tarik menarik antara kedua nilai tersebut dalam bentuk energi positif dan negatif.

Energi positif berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan terhadap Tuhan, sebaliknya energi negatif berupa nilai-nilai a moral yang bersumber dari taghut (setan). Nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, penyucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani).

Energi Positif, berupa:
1.    Kekuatan spiritual; iman, islam, ihsan, dan taqwa untuk mencapai ahsani taqwim (makhluq etis dan kemanusiaannya yang hakiki)
2.    Kekuatan kemanusiaan positif; aqlu as-salim, qalbun salim, qalbun munib (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa), dan nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang). Kesemuanya merupakan modal insani/SDM yang memiliki kekuatan luar biasa.
3.    Sikap dan perilaku etis (merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kepribadian manusia, berupa; istiqamah (integritas), ihlas, jihad, dan amal salih.

Energi positif ini dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yi orang yang bertaqwa, berintegritas (nafsu mutmainnah), dan beramal shalih. Aktualisasi orang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlaq yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan), dan competency yang bagus pula (profesional)

Energi Negatif; disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thaghut (nilai-nilai destruktif) yang fungsinya sebagai pembusukan dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Berupa:
1.    Kekuatan taghut; kufr, munafiq, fasik, dan shirik. Kekuatan yang menjauhkan manusia dari ahsani taqwim menjadi makhluk yang serba material (asfala safilin)
2.    Kekuatan kemanusiaan negatif; pikiran jahiliyyah (pikiran sehat), qalbun marid (hati sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (mati, tidak bernurani), dan nafsu al-lawwamah, yang menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, seks, dan kekuasaan (taghut).
3.    Sikap dan perilaku tidak etis (implementasi kedua kekuatan yang dapat melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya busuk. Meliputi: takabbur, hubb ad-dunya (materialistik), zalim, dan a’mal as-sayyi`at (destruktif)

Akan melahirkan pribadi berkarakter buruk, yang puncak keburukannya meliputi shirik, nafs lawwamah, dan a’mal sayyiat. Aktualisasinya melahirkan perilaku tercela, yi orang yang berkepribadian tidak bagus (hipokrit, penghianat, dan pengecut) dan tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.

Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa
1.    Memudarnya nasionalisme dan jati diri bangsa
2.    Merosotnya harkat dan martabat bangsa
3.    Mentalitas bangsa yang buruk
4.    Krisis multidimensional
5.    Degradasi moral perusak karakter bangsa

Memudarnya nasionalisme dan jati diri bangsa
Nasionalisme:  cinta tanah air, bangsa, dan negara; rela berjuang dan berkorban untuk kejayaannya; ada heroisme, altruisme dan patriotisme; mengesampingkan individualisme, hedonisme, dan sparatisme.

Indikator:
1.    Berkembangnya individualisme, hedonisme, terorisme dan sparatisme;
2.    untuk berebut menjadi pejabat/PNS/dll harus menyuap (bukan abdi negara, tapi penghianat, bukan pejuang tapi pecundang);
3.    munculnya sparatisme, terorisme, dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang mengingkari paham kebangsaan, cinta tanah air dan negara;
4.    enggan memakai produksi dalam negeri.

Merosotnya harkat dan martabat bangsa

Indonesia sejatinya bangsa dan negara besar serta berpredikat positif, namun semua itu sirna karena predikat baru yang negatif seperti terkorup, bangsa yang soft nation, malas, sarang teroris, hilang keramah-tamahannya, banyak kerusuhan, banyak bencana, dls.

Fenomena lain: “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” atau menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”. Faktanya, Indonesia negara pengekspor kuli/babu/tenaga kasar/unskill terbesar (mendatangkan devisa, tapi madharatnya lebih besar)

Mentalitas bangsa yang buruk

Indonesia memiliki modal/kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat; luas wilayah,jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang demokratis. Namun semua itu tak akan ada arti jika mentalitas bangsanya belum terbangun dan belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas penghambat tersebut di antaranya: malas, tidak disiplin, suka melanggar aturan, aji mumpung, suka menerabas, dan nepotisme.

Media yang ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah pendidikan dan keyakinan agama. Pendidikan? Pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan sekedar formalitas atau kepura-puraan. Pendidikan agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul karimah, niscaya menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat dengan amal shalihnya.

Krisis multidimensional

Permasalahan Indonesia: konflik sosial, sering mengedepankan kekerasan dalam memecahkan masalah, praktik korupsi yang semakin canggih dan massif, perkelahian antar pelajar-mahasiswa-warga-anggota dewan, pelanggaran etika dan susila yang semakin vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara peyelesaiannya yang cebderung menggunakan kekerasan, tindak kejahatan yang mengancam ketentraman, praktek demokrasi liberal yang ekstrem dalam berbagai aspek kehidupan yang bertabrakan dengan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang religius.

Sebagai bangsa muslim terbesar, masalahnya banyak muslim Indonesia yang belum at home sebagai Bangsa Indonesia. Mereka tidak menerima negara pancasila, dan tidak memiliki kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Dampaknya masih kuat ekslusifitas, maraknya gerakan umat yang kontra produktif, seperti terorisme, gerakan bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara, berbagai bentuk pembangkangan dan perlawanan terhadap negara dan pemerintahan yang sah. Akibatnya berangkai, sangat luas, dan kontra produktif bagi bangsa-negara dan umat Islam sendiri.
Permasalahahn di bidang pendidikan…diperparah dengan tayangan televisi yang sangat vulgar, life, dan tidak mengenal waktu tayang. Tindakan memfitnah, memperolok, menghin, mengadu domba, pembunuhan karakter juga difasilitasi oleh media.

Satu kata: Prihatin!
Ø Bagaimana kualitas generasi muda di amsa depan?
Ø Citra dan daya saing bangsa yang semakin rendah dan direndahkan
Ø Stigma muslim yang diidentikkan dengan teroris, anti intelektual, dan anti peradaban
Ø Krisis etika dan moral
Ø Bisa korupsi dianggap prestasi
Ø Penipuan dianggap lumrah asalkan tidak keterlaluan
Ø Hilangnya budaya malu (marwah)
Ø Jujur ajur
Ø Berbohong biasa
Ø Hilangnya keperawanan tidak lagi disesalkan
Ø Politik uang untuk membeli kekuasaan
Ø Berbudi bahasa yang santun dianggap kelemahan dan gak gaul
Ø Agama tidak lagi dipedomani sebagai akhlak melainkan sebagai alat kepentingan dan kekuasaan, dan
Ø Bahasa kekerasan adalah bahasa kekuasaan dan ketertindasan
Ø Degradasi moral perusak karakter bangsa

Eksistensi, kemuliaan dan kejayaan suatu bangsa tergantung akhlaknya. Demikian juga keterpurukan, kehinaan, dan kehancurannya.

Menurut psikolog dan ahli pendidikan AS, Thomas Lichona tanda-tanda degradasi moral:
Ø Meningkatnya kekerasan pada remaja
Ø Penggunaan kata-kata memburuk
Ø Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
Ø Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
Ø Kaburnya batasan moral baik-buruk
Ø Menurunnya etos kerja
Ø Rendahnya rasahormat kepada orang tua dan guru
Ø Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara
Ø Membudayanya ketidakjujuran
Ø Adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Urgensi Pendidikan Karakter Islami
1.    Umat muslim merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Baik-buruknya Indonesia pasti berdampak pada muslim.
2.    Kesenjangan antara muslim cita dan muslim fakta
3.    Mengawinkan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Mengawinkan ketiganya, seorang muslim akan memiliki tiga kesadaran: kesadaran ideal (keislaman), kesadaran tempat (keindonesiaan), dan kesadaran waktu (kemodernan), diharapkan muslim akan memiliki kearifan, kemuliaan, dan kejayaan.
4.    Etika dan moral Islam adalah moralitas agama yang mengarahkan manusia berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur. Berislam yang tidak membuahkan akhlak adalah sia-sia. Menurut Raghib al-Asfahani, etika Islam berbentuk ethical individual social egoism dalam motivasi moral. Maksudnya, etika sosial Islam tidak hendak memasung otoritas individu untuk sosial (paham komutarianisme) atau mengorbankan sosial untuk individu (paham universalisme). Etika Islam harus berlandaskan cita-cita keadilan dan kebebasan individu untuk melakukan kebaikan sosial.

Kesenjangan antara muslim cita dan fakta
Dalam perspektif pembangunan, ada 3 kelompok muslim:
1.    Muslim berideologi Islam politik; menjadikan Islam iseologi politik, bertujuan mendirikan negara Islam/khilafah islamiyyah, biasanya bersifat radikal, tidak merasa menjadi Indonesia, sedikit kontribusinya bagi pembangunan, sebaliknya merongrong kedaulatan RI
2.    Muslim mistik; disibukkan dengan urusan ritual keagamaan bahkan yang bersifat mistik, tidak mempersoalkan keindonesiaan tetapi juga tidak memberikan kontribusi yang berarti dan tidak juga membahayakan Negara
3.    Muslim moderat; muslim ideal karena berprinsip keseimbangan antara urusan dunia-akhirat, selalu berusaha menjadi ummatan wasathan, di mana pun berada berusaha memberi manfaat. Ciri muslim moderat: at home di Indonesia, mencintai, berjuang dan rela berkorban untuk bangsa dan negara, dan memberi kontribusi bagi pembangunan.

Ketiganya masih ada, bahkan muslimpolitik semakin menguat pasca reformasi. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, diarahkan untuk menjadi muslim moderat/ideal.

Karakter merupakan bagian tak terpisahkan dari individu. Erma Pawitasari, Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor seperti yang dilansir insistent.com menerangkan bahwa karakter identik dengan akhlaq, yakni kecenderungan jiwa untuk bersikap/bertindak secara otomatis. Karakter yang sesuai dengan ajaran Islam disebut akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, 1975). Untuk meraih karakter ini, ada dua jalan yang bisa dilakukan. Pertama, bawaan lahir sebagai karunia dari Allah SWT. Contoh dari kategori ini ialah akhlak para nabi. Kedua, hasil usaha melalui pendidikan dan penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, 1988).

Untuk menciptakan generasi yang memiliki karakter akhlaqul karimah, ada enam prinsip yang menjadi parameter pendidikan karakter yang baik. Keenam prinsip tersebut antara lain:

1.    Menjadikan Allah Sebagai Tujuan
 Berbeda dengan masyarakat sekuler yang mengimani “ide ketuhanan”, umat Islam mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud, sehingga ketaatan kepadaNya menjadi mutlak. Masyarakat sekuler tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar wujud atau sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, 1993). Ide tersebut diimani karena memberikan pengaruh baik bagi manusia. Meski demikian, konsep tersebut tidak mampu menjelaskan keajaiban yang dialami Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu untuk menyembelih putranya.

Islam, disisi lain, mengajarkan agama sebagai penuntun dunia menuju keridhaan Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”[QS. al-Dzaariyaat 56]. Untuk mencapai keridhaan Allah inilah, manusia wajib menghiasi diri dengan akhlak mulia (Sherif, 1975).

2.    Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional
Akal merupakan modal utama untuk mencapai iman dan keridhaan Allah. Mustahil bagi manusia untuk meraih karakter yang mulia tanpa didasari pemahaman atas perilaku-perilaku yang ada dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tariq ayat 5 (yang artinya): Maka hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?

Pada awal pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi tentang perilaku yang baik, maupun yang buruk.  Metode ini dipilih karena mereka belum mampu memahami alasan pelarangan atau perintah tesebut. Sejalan dengan perkembangan kognitif mereka, pendidikan karakter perlu memperhatikan alasan yang rasional. Rasulullah Saw sering melakukan dialog dengan para sahabatnya dalam rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam hadist berikut: “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai berada di depan pintu salah satu dari kalian, sehingga ia mandi darinya sehari lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” [HR. Muslim]

3.    Memperhatikan Perkembangan Kecerdasan Emosi
Emosi merupakan karunia Allah SWT yang mempengaruhi manusia dalam perilakunya. Pendidikan karakter yang baik hendaknya memperhatikan pendidikan emosi, yakni bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Kemampuan kognitif tanpa didukung dengan kecerdasan emosi menyebabkan manusia bertindak diluar nilai-nilai akhlaq dan rasional. Rasulullah SAW mencontohkan pembangunan kecerdasan emosi saat seorang pemuda datang meminta ijin berzina. Beliau memberikan pertanyaan dan penjelasan yang menyentuh faktor emosinya, menuntunnya pada pemahaman bahwa apa yang dilakukannya akan menyakiti orang lain.

4.    Praktik Melalui Keteladanan dan Pembiasaan
Manusia merupakan peniru ulung. Tidak mengherankan jika pendidikan karakter yang efektif selalu didasarkan pada keteladanan dan pembiasaan. Dalam mendidik karakter umat Islam, Rasulullah menempatkan dirinya sebagai suri tauladan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-ahzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

5.    Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Orang yang berkecukupan memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk melakukan perbuatan yang tercela. Oleh karena itu, Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan barangsiapa mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah penanggungnya.” (HR. Muslim).  Dengan adanya jaminan atas kebutuhan dasar hidup, ummat dapat lebih terkondisikan untuk melakukan perilaku akhlaqul karimah.

6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas
Kurang efektifnya pendidikan karakter sering disebabkan oleh perbedaan prioritas dalam memandang nilai. Dalam Islam, prioritas perbuatan dibagi menjadi wajib,sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas, sama halnya dengan perkara lain, juga didasarkan pada pembagian prioritas tersebut. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengajarkannya kepada murid-murid.

Demikian enam prinsip pendidikan karakter. Prinsip-prinsip tersebut perlu  dipenuhi untuk menciptakan pendidikan karakter yang ideal dan sukses.

Perilaku negatif para siswa sekarang menuntut pendidikan untuk lebih memperhatikan mereka, apakah murid yang tawuran itu ingin menunjukkan jati dirinya sebagai manusia dan karena tidak tahu bagaimana cara menarik perhatian orang lain, akhirnya menempuh cara instan dengan melakukan tawuran.

Coba kita cari akar permasalahan dari setiap kegiatan peserta didik tersebut lalu mencari solusinya, agar mereka mencari perhatian dari prestasi diri dan prestasi kegiatan yang mereka ikuti.

Untuk memiliki siswa dan peserta yang mempunyai karakter yang baik, atau dalam agama islam biasa disebut dengan akhlaqul karimah tidak bisa dilihat hasilnya secara langsung. Penerapan pendidikan karakter membutuhkan pembiasaan dan suri tauladan dari orang tua, guru, masyarakat.

Pendidikan karakter islami harus memenuhi prinsip-prinsip islam dalam penerapannya, Lalu apa prinsip pendidikan karakter Islami ?

1.    Percaya Kepada Allah SWT
Kepercayaan kepada allah harus ditanamkan ke dalam sanubari setiap peserta didik, bahwa Allah SWT selalu mengawasi setiap langkah kita dan Dia akan memberikan balasan dari setiap pekerjaan manusia. Barang siapa yang berbuat kebaikan akan mendapatkan surga dan barang siapa yang akan melakukan kejahatan akan dimasukkan ke dalam surga.
Apabila setiap peserta didik sudah merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap langkahnya, maka ia tidak akan berbuat perbuatan negatif karena takut hukuman dari Allah SWT walaupun tidak ada manusia yang tahu. Agama Islam menuntun manusia untuk menuju keridhoan Allah SWT. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribada kepada-Ku" (Q.S. Al-Dzaariyaat: 56).

2.    Memperhatikan Perkembangan Akal Manusia
Pelaksanaan dan penerapan pendidikan karakter akan berkurang nilainya apabila peserta didik tidak mengetahui kenapa sholat harus dilakukan dan mengapa mencuri itu dilarang kalau tidak memahami dan manfaat perintah dan larangan tersebut.
"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang Dia ciptakan" (Q.S. Ath-Thoriq : 5. Ayat tersebut memerintah manusia untuk selalu menggunakan akal fikirannya untuk berfikir bukan ?

Untuk menumbuhkan dan merangsang peserta didik, seorang pendidik harus cerdas. Bagaimana pendidik bisa memancing sifat kritis peserta didik, kalau dia sendiri tidak tahu apa-apa.

3.    Memperhatikan Perkembangan Emosi Peserta Didik
Selain memperhatikan kecerdasan akal dalam memahami manfaat dari setiap pekerjaan, seorang pendidik harus memahami emosi siswa. Pendidikan karakter yang baik memperhatikan pendidikan emosi, yaitu bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Penelitian menuntukkan bahwa program pendidikan karakter yang efektif harus diserta dengan pendidikan emosi (Elias dkk, 2008;Kessler&Fink, 2008).

Pembangunan kecerdasan emosi sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam hadits qudsi yang artinya "Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa. Jika ia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku mendekatinya dengan berlari". (Shahih Bukhari)

4.    Pendidikan dengan Keteladanan dan Pembiasaan
Hidup dalam masyarakat yang menerapkan syariat islam merupakan langkah pendidikan keteladanan dan pembiasaan karakter terbaik. 

Pendidikan karakter islam dapat menilik dan melihat kehidupan Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah". (Q.S. Al-Ahzab :21)

5.    Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas
Dalam islam dikenal dengan prioritas hukum. Prioritas hukum terbagi dalam 5 (Lima) kategori yaitu : Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram.
Seorang pendidik harus selalu mengkomunikasikan setiap disiplin yang hendak dijalankannya dengan peserta didik (Siswa) dan orang tua murid sehingga setiap aturan sekolah dapat dipahami oleh semua warga sekolah.
Itulah prinsip pendidikan karakter islam dalam pandangan penulis untuk mewujudkan pendidikan sekolah lebih memperhatikan masalah keagamaan dan melandaskan setiap aturan dalam sekolah sesuai syariat islam.

Pendidikan Islam Berkarakter

Pendidikan merupakan suatu elemen penting didalam membangun peradaban manusia kearah yang lebih baik. Melalui proses pendidikan manusia akan diajak berfikir tentang hakikat dan tujuan ia diciptakan, tentang mengembangkan potensi diri, memanfaatkan sumber daya hingga penyeimbangan hubungan antara manusia dan alam pun akan dipelajari manusia melalui proses pendidikan.

Hal terpenting yang perlu kita dalami sebagai seorang tenaga kependidikan atau calon tenaga kependidikan ialah bahwasannya pendidikan bukanlah sekedar proses mendidik semata, namun lebih kompleks didalamnya terdapat sebuah proses penanaman karakter, dimana melalui proses pembangunan karakter inilah yang menjadi suatu tolak ukur bagi kita untuk menilai hasil dari suatu proses pendidikan. Dengan pendidikan karakter inilah akan muncul ciri khas suatu bangsa dalam bentuk jati diri, kebanggaan dan letak kehormatan bangsa tersebut dimata bangsa yang lain.

Dalam lingkup ajaran agama Islam, pendidikan karakter telah ditanamkan kepada manusia sejak manusia tersebut diciptakan. Pendidikan karakter didalam pandangan islam merupakan proses pendidikan yang lebih mengedepankan kualitas daripada ahlak. Sebuah ahlak yang baik maka akan berbuah karakter yang baik, begitu juga sebaliknya, pemupukan terhadap keburukan-keburukan ahlak akan menimbulkan karakter yang dikenal sebagai jati diri juga akan buruk.

Pendidikan berkarakter bukanlah pendidikan yang sekadar pendidikan yang berorientasi pada nilai atau hasil akhir, namun lebih menekankan pada proses pendidikan tersebut, sementara hasil akhir hanyalah sebagai bahan evaluasi dari keberhasilan dari proses pendidikan tersebut.

Jika kita membuat sebuah perbandingan tentang bagaimana pendidikan kita saat ini, justru akan kita dapati bahwasannya pendidikan kita sangat jauh dari pada konsep pendidikan berkarakter, sebab kita lebih menekankan agar peserta didik memperoleh nilai setinggi-tinggi mungkin sementara tidak ada kontrol yang jelas bagaimana upaya mencapainya. Oleh sebab itu, tidak jarang kita menemukan begitu banyak kecurangan didalam proses pendidikan yang seharusnya tempat tersebut dijadikan sebagai wadah menanaman karakter bagi siswanya.

Didalam sebuah kesempatan pada kegiatan National Summit dan peringatan hari Ibu Presiden Republik Indonesia sempat menyinggung mengenai penekanan terhadap pendidikan Karakter (Character Building) hal ini menunjukkan bahwasannya pendidikan berkarakter merupakan suatu pola pendidikan yang sangat penting dimana dari hasil pendidikan ini akan tercipta pribadi-pribadi dengan watak yang unggul dan mulia dengan 5 asumsi sebagai berikut :
  1. Manusia yang bermoral, berahlak dan berprilaku mulia.
  2. Manusia yang cerdas dan rasional.
  3. Manusia yang inovatif dan bergerak maju.
  4.  Manusia yang berjiwa optimistis, dan
  5. Manusia yang berjiwa patriotik, mencintai bangsa dan negaranya.

Hadirnya Islam hendaknya menjadi agen yang berada pada garda terdepan didalam menyokong pembangunan karakter melalui pendidikan. Didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah jelas begitu banyak yang membahas tentang membangun karakter umat islam yang unggul, berwibawa serta bernilai bagi orang lain.

Alasan Pentingnya Nilai Karakter Dalam Perangkat Pembelajaran

Pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua materi pembelajaran dilakukan dalam rangka mengembangkan kegiatan intervensi. Substansi nilai sesungguhnya secara eksplisit atau implisit sudah ada dalam rumusan kompetensi (SKL, SK, dan KD) dalam Standar Isi (Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah), serta perangkat kompetensi masing-masing program studi di pendidikan tinggi atau PNFI. Yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah memastikan bahwa pembelajaran materi pembelajaran tersebut memiliki dampak instruksional, dan, atau dampak pengiring pembentukan karakter.

Pengintegrasian nilai dapat dilakukan untuk satu atau lebih dari setiap pokok bahasan dari setiap materi pembelajaran. Seperti halnya sikap, suatu nilai tidaklah berdiri sendiri, tetapi berbentuk kelompok. Secara internal setiap nilai mengandung elemen pikiran, perasaan, dan perilakiu moral yang secara psikologis saling berinteraksi.

Karakter terbentuk dari internalisasi nilai yang bersifat konsisten, artinya terdapat keselarasan antar elemen nilai. Sebagai contoh, karakter jujur, terbentuk dalam satu kesatuan utuh antara tahu makna jujur (apa dan mengapa jujur), mau bersikap jujur, dan berperilaku jujur. Karena setiap nilai berada dalam spektrum atau kelompok nilai-nilai, maka secara psikologis dan sosiokultural suatu nilai harus koheren dengan nilai lain dalam kelompoknya untuk membentuk karakter yang utuh. Contoh: karakter jujur terkait pada nilai jujur, tanggung jawab, peduli, dan nilai lainnya. Orang yang berperilaku jujur dalam membayar pajak, artinya ia peduli pada orang lain, dalam hal ini melalui negara, bertanggung jawab pada pihak lain, artinya ia akan membayar pajak yang besar dan pada saatnya sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, bila semua pembayar pajak sudah berkarakter jujur, tidak perlu ada penagih pajak, dan tidak akan ada yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dari prosedur pembayaran pajak. Proses pengintegrasian nilai tersebut, secara teknologi pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut[1][12].
a.    Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
b.    Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam silabus ditempuh antara lain melalui cara-cara sebagai berikut:
1)   Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada pendidikan dasar dan pendidikan memengah, atau kompetensi program studi pada pendidikan tinggi, atau standar kompetensi pendidikan nonformal.
2)   Menentukan apakah kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam SK dan KD atau kompetensi tersebut sudah tercakup di dalamnya.
3)   Memetakan keterkaitan antara SK/KD/kompetensi dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan.
4)   Menetapkan nilai-nilai atau karakter dalam silabus yang disusun, dan mencantumkan nilai-nilai yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP.
5)   Mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai.
6)   Memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun untuk menunjukkannya dalam perilaku.

Dasar Pembentukan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan)[2][13]. Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa:

Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);

Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa.

Ketiga,  sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.

Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).

Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai  material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:

Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu  berupa  kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn);

Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu  pikiran jahiliyah (pikiran sesat),  qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût).

Ketiga,  sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).

Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.

Unsur-Unsur Karakter
Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis perlu dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri manusia. adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan[3][14].

Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang lain menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self Conception).
1)   Sikap
Sikap seseorang biasanya adalah merupakan bagian karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan karakter seseorang tersebut. Tentu saja tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya menunjukkan bagaimana karakternya.

2)   Emosi
Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis.

3)    Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter manusia. jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan denga orang lain.

4)   Kebiasaan dan Kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Sementara itu, kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang.

Ada orang yang kemauannya keras, yang kadang ingin mengalahkan kebiasaan, tetapi juga ada orang yang kemauannya lemah. Kemauan erat berkaitan dengan tindakan, bahakan ada yag mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

5)   konsep diri (Self Conception)
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter adalah konsep diri. Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Dalam proses konsepsi diri, biasanya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Citra diri dari orang lain terhadap kita juga akan memotivasi kita untuk bangkit membangun karakter yang lebih bagus sesuai dengan citra. Karena pada dasarnya citra positif terhadap diri kita, baik dari kita maupun dari orang lain itu sangatlah berguna.

Arah dan Metode Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam
Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[4][15]. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient)[5][16].

Gambaran di atas menunjukkan metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.

Untuk mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan metode tilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih).

Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.

Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.

Metode ta’dîb digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.

Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah. Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).

Metode tadlrîb (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.

Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri [6][17].

Tujuan Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam di Indonesia

Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).[7][18]

Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti Socrates, Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan nabi Muhammad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adaah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.

Begitu juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran nabi Muhammad tesebut dengan menyatakan “Intelligence plus character, that is the true aim of education”[8][19]. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Selain itu, pendidikan karakter mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.    Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
b.    Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
c.    Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan karakter atau akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya. Menurut Said Agil tujuan pendidikan adalah “membentuk manusia yang beriman, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.”

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama  Islam di Indonesia itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.[9][20]

Meskipun  dalam pelaksanaannya, tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri dapat dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan media yang tepat. Pendidikan karakter dilakukan setidaknya melalui berbagai media, yang di antarnya mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan media massa.

Kesimpulan
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.

Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan

Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; Ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  Tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya ada asah, asih dan asuh; Ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); Tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); Tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient)

Tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Islam di Indonesia itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul majid, Dian andayani. 2010. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia.  Jakarta: Prenada Media
Ahmad Zayadi, Abdul Majid. 2005. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Amru Khalid. 2008. Tampil Menawan Dengan Akhlak Mulia. Jakarta: Cakrawala Publishing
Aunillah. 2011. Panduan menerapkan pendidikan karakter disekolah. Jakarta: Trans Media
Fadlullah. 2008. Orientasi Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media
Fatchul Mu’in. 2011. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita . Kompas
Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
Saifuddin Aman. 2008. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. Jakarta: Al Mawardi Prima Zubaedi. 2011. Design pendidikan karakter. Jakarta: Kencana




[11][2] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 323
[12][3] Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita.  Kompas
[13][4] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010),  hlm. 11
[14][5] Zubaedi. Design pendidikan karakter. (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 19
[15][6] Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007),  hlm. 219
[16][7] Amru Khalid. Tampil menawan Dengan Akhlak Mulia. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008) , hlm. 37
[17][8] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 61
[18][9] Ahmad Zayadi, Abdul Majid. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 178
[19][10] Ibrahim Bafadal dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[20][11] Ulfiarahmi dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Policy%20Brief%20Edisi%204. Yang diakses pada tanggal 01 April 2012



[1][12] Ulfiarahmi dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 april 2012

[3][14] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168
[4][15] Fadlullah. Orientasi Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 13
[6][17] Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
[7][18] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
[8][19] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
[9][20] Saifuddin Aman. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. (Jakarta: Almawardi Prima, 2008), hlm. 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon Berika Komentarnya