Pangeran
Antasari
Pangeran
Antasari (lahir di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan
Selatan, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara,
Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Sebagai seorang pangeran, ia merasa prihatin
menyaksikan kesultanan Banjar yang ricuh karena campur tangan Belanda pada
kesultanan semakin besar. Gerakan-gerakan rakyat timbul di pedalaman Banjar.
Pangeran Antasari diutus menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang
bergolak.
Ia
meninggal karena penyakit paru-paru dan cacar di pedalaman sungai Barito,
Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan
kembali di Taman Makam Perang Banjar Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan
beliau dilanjutkan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman dan mangkubumi
Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said) serta cucunya Pangeran Perbatasari
(Sultan Muda) dan Ratu Zaleha.
Pada
14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di
Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur)
penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung
Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Silsilah
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah. Ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari/Ratu Sultan yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
"Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!"Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[6]
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah. Ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari/Ratu Sultan yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
"Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!"Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[6]
Tidak
ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus
menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan
bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada
Allah dan rakyat.
Perlawanan
terhadap Belanda
Lanting
Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan
Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara Perang Banjar pecah saat
Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik
Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar.
Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari
menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut,
Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali
Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada
pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel
Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“dengan
tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun
dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)”
Dalam
peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun
sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Setelah
berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di
tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu
oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan
Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau
terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya
pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.
Setelah
terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas
keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958
dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah
tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka
ini dimakamkan kembali Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan
Surgi Mufti, Banjarmasin.
Jika
Pangeran Antasari selalu menekankan bahwa "Haram Menyerah" kepada
musuh, maka semestinya ini bisa kita jadikan pencerahan untuk diri kita. Bisa
saja kita menyemangati diri kita dengan semangat "Haram Menyerah"
kepada kemiskinan, ketidak adilan atau apa saja yang hendak kita capai!
Terkadang dengan kata semangat dan keingin dari diri sendiri, bukan mustahil
ini bisa menjadi penambah kekuatan untuk diri kita dalam menggapai apa yang
kita inginkan-dalam arti tujuan yang mulia tentunya!!!
Pangeran
Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh
pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta,
tertanggal 23 Maret 1968. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan
julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih
mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank
Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran
Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000.
Referensi
:
-
http://tokoh-biografi.blogspot.com/2010/10/biografi-pangeran-antashari.html
-
http://id.shvoong.com/books/biography/2135450-biografi-pangeran-antasari
Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin[9][10][11][12][13][14][15][16][17]
(berdiri 1520, dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat
Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada
24 Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali
dengan dilantiknya Sultan Khairul Saleh.
Kerajaan
Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin
kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir diMartapura.
Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika
ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan
Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang
beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Bendera
Negara Banjar berwarna kuning di atas hitam dalam bicolour horisontal. (John
McMeekin , 15 Januari 2011).* Bendera
Banjar
Wilayah terakhir Kesultanan Banjar antara tahun 1826-1860
yang telah menyusut, karena wilayah sekelilingnya telah diserahkan kepada
perusahaan VOC Belanda
oleh Sultan Banjar. Wilayah Banjar yang lebih kuno
terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru[1][2][3]
|
|
Berdiri
|
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Kuin, Banjarmasin
(1520)
Pemakuan (1612)[4] Tambangan/Batang Banyu Mangapan (1622) Martapura (1632) Sungai Pangeran, Banjarmasin (1663) Kayu Tangi (1680) Bumi Kencana (1771)[5] atau Bumi Selamat (1806)[6] Sungai Mesa, Banjarmasin(1857) Baras Kuning (1865) |
|
Islam
Sunni mazhab
Syafi'i (resmi)[7]
Kaharingan Konghucu Nasrani |
|
Pemerintahan
-Sultan pertama -Sultan terakhir |
Monarki
Sultan Suriansyah (1526-1550) Sultan Muhammad Seman (1862-1905) |
Sejarah
-Didirikan -Zaman kejayaan -Protektorat VOC -Krisis suksesi -Akhir pemerintahan darurat |
|
Catatan
|
(1526-1548 sebagai bawahan Demak)
|
Sejarah
Menurut
mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan),
kerajaan pertama di Borneo Selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah
kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong
hingga ke daerah Pasir.
Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan
Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis
Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar.
Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit.
sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku
Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini
adalah Candi
Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan
pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun
dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik
dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan
Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan
Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut
Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan
raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima
(Sang Bima),
raja-raja Bali (Sang
Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa
(Sang Rajuna)
yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja
Pandu Dewata.[18][19]
Sesuai
Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu
pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut
hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia
Belanda pada 11
Juni 1860,
yaitu :
- Keraton
awal disebut Kerajaan Kuripan
- Keraton
I disebut Kerajaan Negara Dipa
- Keraton
II disebut Kerajaan Negara Daha
- Keraton
III disebut Kesultanan
Banjar
- Keraton
IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
- Keraton
V disebut Pagustian
Maharaja
Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden
Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden
Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja
Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya
karena para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran
Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Dibantu
oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir
sungai Barito.
Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya
digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang
menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh
Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung
diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran
Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan
Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu
yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut. [20])
Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara
Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang
beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang
Alai.
Pangeran
Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah.
Beliau pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
Masa kejayaan
Kesultanan
Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas
dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar
upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti
kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan
Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi
Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan
Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena
mendapat perlawanan yang sengit. [21]
Sultan
Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan
Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali
merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat
daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan
Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.[22]
Seiring
dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek
militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar
mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai,
Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam,
Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi
pada tahun 1636.[23][24][25][26]
Sejak
tahun 1631
Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka
rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari
pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik
Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar
sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi
kebudayaan Jawa.
Disamping
menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga
harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram
mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.[21]Perang
Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu,
pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin.[27]
Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.[28]
Sebelum
dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung
Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan
Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya
bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan.
Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk
Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan
Belanda.
Kesultanan
Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan.[29]
Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.[30]
Wilayah Kesultanan
Banjar
Wilayah Kesultanan Banjar Raya adalah negeri-negeri
yang menjadi wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar
khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad sebelumnya.[31][32][33][34][35]
Kesultanan
Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan
wilayah inti meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan
(Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua)
dan Pandan Arum (Tanjung).[36]
Sejak awal abad ke-16 berdirilah Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai wakil
Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak
adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat
Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk
mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri
Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah
taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun). Dahulu
kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung
lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan
bandar yang ada di hilir misalnya terdapat 3 suku besar Dayak yaitu Dayak
Biaju, Dayak Dusun dan Dayak Pari (Ot Danum) yang merupakan bagian dari rakyat
kerajaan Banjar. Kesultanan Brunei merupakan kesultanan yang pertama di pulau
Kalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar tahun 1526. Kedua
kesultanan merupakan saingan. Kesultanan Brunei menjadi penguasa tunggal di
wilayah utara Kalimantan. Pada masa kejayaannya Kesultanan Banjar mampu
menyaingi kekayaan Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada raja-raja lokal.
Suku/bangsa Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di
Kalimantan, bahkan jika dibandingkan dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar
mengalami masa kejayaan pada abad ke-16 dan ke-17, yang pada masa itu belum
banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa,
Bugis, Mandar, Arab dan Cina.
Teritorial
kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini
tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan,
yaitu :
- Negara Agung
- Mancanegara
- Daerah Pesisir (daerah
tepi/daerah terluar)
Pada
mulanya ibukota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian pindah ke
Martapura.[37]
Pada masa kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh
mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura
dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan
(Banjar Kulan/Buranun) di timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan
Banjar. Negeri Sambas dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim
upeti kepada raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan
negeri-negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa
Agung/Sawakung).[23]
Negeri-negeri bekas milik Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana
terletak di sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi
3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan
Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan perbatasan kuno antara wilayah mandala
Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).
Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat)
adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei,
tetapi Hikayat Banjar mengklaim daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat
yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar
Hindu, dan sejarah membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah
Hindia Belanda. [38][39]Perbatasan
di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian Kabupaten
Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)
yang dinamakan daerah Lawai[40]
Sanggau dan Sintang juga dimasukan dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan
Banjar. Dari bagian timur Kalimantan sampai ke Tanjung Sambar terdapat beberapa
distrik/kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh mandala kekuasaan Sultan
Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tatas,
Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar (Kahayan), Dayak Kecil (Kapuas
Murung), Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Inilah yang disebut
"negara Kerajaan Banjar". Daerah-daerah kekuasaan Sultan
Banjar yang paling terasa di Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut,
Bakumpai
dan Dusun.[41]
Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada
dalam wilayah Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar
kepulauan Kalimantan, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau
Kalimantan.[42]
Kerajaan
Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M
hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas
yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian
runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas
hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada
saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan
Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih
bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh
pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan
Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah
pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan
Sambas hingga seterusnya Kesultanan
Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti
kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan
pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya
diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada
dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas
ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam
perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat
dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan
yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh
berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan
Banjar.
- Sejak
ibukota dipindahkan ke Daerah Martapura[43]
maka kota Martapura sebagai Kota Raja
merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
- Wilayah
teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
- Tanah
Laut atau Laut Darat terdiri :
- Satui
- Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada
13 Agustus 1787.
- Maluka,
daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
- Daerah
Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan Pulau Tatas (Banjarmasin
bagian Barat). Tahun 1709[44][45]
atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas (Banjarmasin
bagian barat) merupakan daerah yang mula-mula dimiliki VOC_Belanda.[46]
Pulau Tatas termasuk daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada
Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai
perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai
1860.
- Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Banua Ampat artinya banua nang empat
yaitu Banua Padang, Banua
Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan
sampai 1860.
- Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Banua
Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara,
Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua.
Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai
Barito dari kuala Anzaman ke hilir sampai kuala Lupak. Diserahkan
kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau
Burung.
- Tanah
Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13
Agustus 1787,
Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Hilir)
dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya
tetap termasuk daalam wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan
oleh Belanda tahun 1860.
- Teritorial/ring
ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini
merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri
dari :
- Wilayah
Barat yaitu wilayah Negara bagian Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju)
yaitu meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan
distrik-distriknya: Jelai dan Kumai), Pembuang, Sampit,
Mendawai serta daerah milik Kotawaringin di
Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya bersebelahan
dengan kawasan udik sungai Katingan/Mendawai dan berbatasan dengan
Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan Kotawaringin dengan Kerajaan
Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar. Juga turut diklaim wilayah Tanah
Dayak (Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala
di udik sungai Kahayan (Tumbang Anoi) yaitu daerah-daerah suku Dayak
Biaju dan Dayak Pari (Ot Danum) beserta semua daratan yang takluk
kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah Tanah Kotawaringin dan Tanah
Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Secara
resmi daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki Belanda sejak
Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
- Wilayah
Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Negara bagian Paser dan Negara
bagian Tanah Bumbu. Kerajaan Paser
didirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau Kuripan-Daha,
sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun belakangan
berada di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah
dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan
kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan
Paser Sultan Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda.
Kerajaan Tanah Bumbu didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah,
yang pada mulanya mencakup kawasan mulai Tanjung Aru sampai Tanjung
Silat, belakangan wilayah intinya terutama terdiri atas 7 divisi:
Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung,
Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi, penguasa
Tanah Bumbu yang memiliki 6
daerah (Cengal, Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung,
Buntar-Laut) membuat kontrak politik dengan Hindia-Belanda yang
menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja. Tahun 1841, negeri Sampanahan di
bawah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali) menjadi swapraja terpisah dari
wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846 Buntar-Laut
dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi
swapraja tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji
Mandura sebagai Raja Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah
Pangeran Aji Musa, kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir
yang kelak mendapatkan negeri Kusan dan Pulau Laut. Kerajaan
Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin Sultan Muhammadillah
rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan Banjar. Sultan
Banjar melantik Hasan La Pangewa sebagai kapten suku Bugis bergelar
Kapitan Laut Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir
Sultan Amir dari Kerajaan Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan
menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda. Belakangan
wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan kemudian Hindia Belanda
membentuk pula swapraja Sabamban.
Wilayah Kalimantan Tenggara ini diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826. Pada akhir abad ke-19
Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah
Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban,
Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua
kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo
Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda sejak
tahun 1846.
- Teritorial/ring
keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan
kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang
sama dengan Provinsi Borneo pada
masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah
I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 yang
berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri
yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir
terdiri dari :
- Pesisir
Timur
disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan
dan jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan
Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.[47]
Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang sebagai negara dependen di dalam
Kesultanan Banjar.[48]
- Wilayah
Negara bagian Kutai. Tahun 1735 Kerajaan
Kutai Kartanegara berubah dari pemerintahan Pangeran Adipati menjadi
kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4
Mei 1826. Tahun 1844
Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
- Wilayah
Negara bagian Berau/Kuran (sejak 1810-an
terbagi menjadi Gunung Tabur dan Tanjung) beserta daerah Berau yang
melepaskan diri pada abad ke-18 dan bawah pengaruh Kesultanan Sulu (&
Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung. Diserahkan kepada Hindia
Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
- Wilayah
terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan kemudian di bawah
pengaruh Brunei yaitu Negara bagian Karasikan atau Buranun/Banjar
Kulan (Banjar Kecil).[49][50][51][39][5][52][53]
·
- Pesisir
Barat
disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat
Kalimantan yang kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada
masa kolonial Hindia Belanda.
- Wilayah
Batang Lawai atau sungai
Kapuas (Negara bagian Sanggau, Negara bagian Sintang dan Negara bagian Lawai).[54]
Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi
dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke
laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin.
Kerajaan Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan
Patih Logender dari Majapahit dengan Dara Juanti (Raja Sintang ke-9).
Tahun 1600 Raja Sintang mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyalin
kitab suci Al-Quran. Kerajaan Sintang dan Mlawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah
yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Mlawai
sebelumnya termasuk daerah-daerah yang diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787.
Belakangan Tanah Sanggau ditaklukan dan berada di bawah supremasi
pemerintahan Sultan Pontianak (protektorat VOC Belanda).
- Wilayah
Negara bagian Sukadana/Tanjungpura (sebagian
besar Kalbar)[55]
Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan
Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan
Raden Saradewa/Giri Mustaka dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu
Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan
dibebaskan dari membayar upeti.[23]
Saat itu Raja Sukadana memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan
termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah
dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan,
selanjutnya Panembahan Giri Mustaka bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din.
Pada tahun 1661
Sukadana/Matan terakhir kalinya Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan
Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim
upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana
dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami
kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak
dibantu Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal
Banten) dan Tanah Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada
VOC-Belanda pada 26 Maret 1778, kemudian diserahkan oleh VOC di bawah supremasi
pemerintahan Sultan Pontianak, karena itu gelar Sultan untuk penguasa
Sukadana/Matan diubah menjadi Panembahan[56]
- Wilayah
terluar di barat adalah Negara bagian Sambas. Menurut Hikayat Banjar,
sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi
taklukannya dan terakhir kalinya Pangeran Adipati Sambas (Panembahan
Sambas) mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim
dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642).[57][58][23]
Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda
dan lepas dari pengaruh kesultanan Banjar. Intan Si Misim kemudian
dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan
Agung, raja Mataram pada bulan Oktober tahun 1641 yang
merupakan persembahan (bukan upeti) terakhir yang dikirim kepada
pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram).[59][60][61]
Semula Kerajaan Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit
yang bergelar Pangeran Adipati/Panembahan Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas
diperintah oleh Dinasti Brunei dan berubah menjadi kesultanan
bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas
digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan
Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.[62]
Pada
abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan
pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga
sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah.
Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa
kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada
tahun 1772. Putera
dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau
cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada
pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian
kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar
pada tahun 1757,
dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut
kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang
Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan
tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil
mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri
kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula
untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak
senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran
Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan
dibuang ke Sri
Langka pada tahun 1787.
Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana
raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan
perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam,
berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini,
maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra
Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan
dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang
Banjar.
Perjanjian
itu terdiri atas 28
pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan
1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani
oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati,
Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah
yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan
pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui
suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat,
atau negeri pinzaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan
keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa
dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain
adalah : [63]
- Kerajaan
Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan
Belanda.
- Wilayah
Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi
bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik
Hindia Belanda seperti tersebut dalam Pasal 4 :
- Pulau
Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
- Pulau
Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
- Mantuil
seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan
sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang
Pulau Tatas.
- Sungai
Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai
Lumbah.
- Pulau
Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala
Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
- Segala
Tanah
Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip
sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
- Tanah
Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan
mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk
padanya.
- Tanah Mandawai.
- Sampit
- Pambuang semuanya desa-desa dengan segala
tanah yang takluk padanya
- Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
- Desa
Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas
dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku,
Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung
Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
- Negeri-negeri
di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
- Penggantian
Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan
pemerintah Belanda.
- Belanda
menolong Sultan
terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
- Beberapa
daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada
Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya
untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang
pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
- Padang
Bajingah
- Padang
Penggantihan
- Padang
Munggu Basung
- Padang
Taluk Batangang
- Padang
Atirak
- Padang
Pacakan
- Padang
Simupuran
- Padang
Ujung Karangan
- Belanda
juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan
sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4
karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya
diserahkan pada Belanda.
Gambaran
umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar
sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah
hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap
utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun
1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang
berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai
(Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga
meninggalnya Pangeran
Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini
akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.
Sistem Pemerintahan
- Raja :
bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
- Putra
Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran
Ratu/Sultan Muda
- Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah
Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40
orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
- Lalawangan : kepala
distrik, kedudukannya sama seperti pada masa Hindia
Belanda.
- Sarawasa,
Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
- Mandung
dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
- Mamagarsari :
Pengapit raja duduk di Situluhur
- Parimala :
Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
- Sarageni
dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung,
tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
- Puspawana :
Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
- Pamarakan
dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman/istana
- Kadang
Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
- Wargasari :
Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi,
kesejahteraan
- Anggarmarta :
Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
- Astaprana :
Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
- Kaum
Mangkumbara : Kepala urusan upacara
- Wiramartas :
Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri,
dengan persetujuan Sultan.
- Bujangga :
Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
- Singabana :
Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan
pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
- Mangkubumi
- Mantri
Pangiwa dan Mantri Panganan
- Mantri
Jaksa
- Tuan
Panghulu
- Tuan
Khalifah
- Khatib
- Para
Dipati
- Para
Pryai
- Masalah-masalah
agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin
pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa,
Khalifah dan Penghulu.
- Masalah-masalah
hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan
anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
- Masalah
tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan
Dipati.
- Dalam
hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian
Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu,
kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian
Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari
Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa
mengurusi masalah keduniaan.
- Para
Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi
mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem
pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq
Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
- Mufti :
hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
- Qadi :
kepala urusan hukum agama Islam
- Penghulu :
hakim rendah
- Lurah :
langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati
pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah,
Bilal dan Kaum.
- Pambakal :
Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
- Mantri :
pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya
ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
- Tatuha
Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
- Panakawan :
orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan
kewajiban.
- Sebutan
Kehormatan
- Sultan,
disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
- Gubernur Jenderal
VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
- Permaisuri
disebut Ratu
jika keturunan bangsawan atau Nyai Ratu jika berasal dari kalangan biasa,
sedangkan para selir disebut Nyai.
- Anak
laki-laki raja bergelar Gusti (= Raden/Raden Aria pada zaman Hindu &
awal Islam), dan jika anak permaisuri akan mendapat gelar Pangeran
dan jika menjabat Dipati mendapat gelar berganda menjadi Pangeran Dipati.
Para Pangeran keturunan Sultan yang memerintah menurunkan gelar
"Gusti" ini kepada keturunannya baik anak lelaki maupun wanita.
Para Gusti (lelaki) yang sudah jauh garis keturunannya dengan Sultan yang
memerintah hanya menurunkan gelar Gusti hanya kepada anak lelaki.
- Anak
perempuan raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada zaman Hindu), jika anak
permaisuri akan mendapat gelar Putri dan setelah menikah mendapat gelar
Ratu.
- Andin,
menurut Tutur Candi gelar tersebut untuk keturunan kerajaan Negara Daha yang telah
dikalahkan oleh Sultan Suriansyah dan tidak diperkenankan lagi memakai
gelar Pangeran.
- Antung,
gelar untuk putera/puteri dari wanita "Gusti" yang menikah
dengan orang kalangan biasa. Antung setara dengan gelar Utin (wanita) di
Kotawaringin.
- Seorang
lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan, akan
mendapat gelar Raden. Raden juga merupakan gelar bagi pejabat birokrasi
dari golongan Nanang/Anang misalnya gelar Raden Tumenggung, yang
selanjutnya meningkat menjadi Raden Dipati. Menurut Hikayat Banjar, gelar
Nanang diberikan untuk kalangan keluarga Ampu Jatmika yang disebut Kadang
Haji (haji= raja), sedangkan keluarga isteri Ampu Jatmika tidak mendapat
gelar tersebut atau juga diberikan kepada lelaki dari kalangan biasa yang
menikah dengan puteri Sultan misalnya Nanang Sarang (digunakan pada abad
ke-17).
- Seorang
lelaki keturunan Arab yang menikah dengan puteri Sultan akan mendapat
gelar Pangeran Serip (Syarif), sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi
isteri permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif).[64]
Sultan Banjar
Berikut
ini adalah daftar figur-figur pemimpin yang memerintah di Kesultanan Banjar.[65][66][67][68]
No.
|
Potret
|
Masa
|
Sultan
|
Keterangan
|
1
|
* Raja Banjarmasih. Nama
lahirnya Raden Samudra, Raja Banjar pertama sebagai perampas
kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih yang
menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung (Raden Panjang), menurutnya
dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha, padahal ia garis
keturunan perempuan (menurut Hikayat
Banjar versi resensi I). Baginda dibantu mangkubumi
Aria Taranggana.[23]
Baginda memeluk Islam
pada 24
September 1526.
Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah
dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, beliau
dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang
digelari Perbata Batu Habang.
|
|||
2
|
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah
|
* Raja Banjarmasih.
Pemerintahannya dibantu mangkubumi Aria Taranggana. [23]Makamnya
di Komplek Makam Sultan Suriansyah
dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih.
|
||
3
|
Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah
|
* Raja Banjarmasih.
Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai
Anggadipa.[23]
Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah
dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Puteranya Raden Bagus
dilantik sebagai raja muda dengan gelar Ratu Bagus, belakangan Ratu Bagus
ditawan di Tuban
oleh Sultan Mataram dan baru dibebaskan pada masa Sultan Mustain Billah. Trah
keturunan Sultan Hidayatullah I menjadi Datu-datu Taliwang dan
Sultan-sultan Sumbawa. Sultan
Muhammad Jalaluddin Syah II/Gusti Mesir Abdurrahman/Dewa Pangeran (Sultan
Sumbawa (1763 - 1766) merupakan seorang keturunan Raja Banjar yang menjadi
menantu Sultan Sumbawa. Kemudian dia dilantik sebagai Sultan Sumbawa
berikutnya oleh Datu Taliwang (raja daerah Taliwang yang juga keturunan Raja
Banjar Sultan Hidayatullah I).[69]
|
||
4
|
Sultan Mustain Billah bin Sultan
Hidayatullah I
|
* Raja Banjarmasih/Raja Martapura.
Nama lahirnya Raden Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia
bukanlah anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua. Pemerintahannya
dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar
lain : Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan
gelar yang dimasyhurkan Marhum Panembahan. Beliau memindahkan ibukota ke
sebelah hulu setelah mendapat serangan dari VOC Belanda dan memberi nama
ibukota baru Martapura.[23]
Oleh Suku
Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di
Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Pada bulan Oktober
1641 baginda mengirim utusan yang membawa hadiah persembahan (bukan upeti)
kepada Sultan Mataram sebagai tanda persahabatnan. Sekitar tahun 1635
hubungan Banjar dan Mataram mengalami ketegangan, namun mulai membaik sejak
tahun 1637. Keturunannya menjadi Sultan-sultan Banjar dan Pangeran
Ratu Kotawaringin.
|
||
5
|
Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain
Billah
|
* Raja Martapura. Gelarnya
sebelum menjadi Sultan adalah Pangeran Dipati Tuha [ke-1]. Pemerintahannya
dibantu adiknya Pangeran di Darat sebagai mangkubumi. Gelar
lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura.
Adiknya, Pangeran Dipati Anta-Kasuma diangkat menjadi raja muda di wilayah
sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin
|
||
6
|
Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah
|
* Raja Martapura. Nama
lahirnya Raden Kasuma Alam. Pemerintahannya dibantu mangkubumi
pamannya Panembahan di Darat, dilanjutkan pamannya
Pangeran Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan paman tirinya Pangeran
Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Terdapat masa kekosongan Sultan selama
setahun sebelum dia ditabalkan, dan menjalankan "kekuasaan" saat
itu adalah mangkubumi Pangeran di Darat.[23]
Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah/Sultan Ratu. Sultan Ratu
memiliki dua putera yaitu Pangeran Suria Angsa (Raden Bagus/Sultan Amrullah)
dan Pangeran Suria Negara (Raden Basus/Pangeran Dipati Tuha).[70]
Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan Tanah Bumbu.
|
||
7
|
Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah
|
* Raja Martapura. Nama
lahirnya Raden Halit. Ia sebagai temporary king/badal menjadi
pelaksana tugas bagi Raden Bagus, Putra Mahkota yang belum dewasa. Sebagai
Penjabat Sultan dengan gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat
Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati bin Pangeran Dipati
Antasari. Gelar lain : Pangeran Dipati Tapasena/Pangeran Mangkubumi/Panembahan
Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada tahun 1663 ia dipaksa
menyerahkan tahta kepada cucu tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung
yang berpura-pura akan menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Raden Bagus
tetapi ternyata untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi Sultan.[23]
|
||
8
|
Sultan Amrullah
Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah
|
* Nama lahirnya Raden
Bagus. Masa pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700. Pada tahun
1660-1663 ia diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam menjalankan
pemerintahan karena ia belum dewasa. Pada tahun 1663 paman tirinya Pangeran
Dipati Anom II/Sultan Agung merampas tahta dari Sultan Rakyatullah, yang
semestinya dirinyalah sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan Banjar
berikutnya. [23]
Sementara itu ia telah dilantik oleh Pangeran Tapesana/Sultan Rakyatullah
dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma. Tahun 1663-1679 ia sebagai raja
pelarian yang memerintah dari pedalaman (Alay)
|
|
|
9
|
Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin
Sultan Inayatullah
|
* Raja Banjarmasih. Nama
lahirnya Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta/mengambil hak kemenakannya
Raden Bagus sebagai Sultan Banjar. Ia dengan bantuan suku Biaju,
memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin).
Pemerintahannya dibantu mangkubumi Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran
Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia
berbagi kekuasaan dengan saudara kakeknya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah)
yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar
lain : Pangeran Dipati Anom II.[23]
|
||
10
|
Sultan Amrullah
Bagus Kasuma/Suria Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah
|
* Raja Kayu Tangi.
Ia sempat lari ke daerah Alay (1663-1679) kemudian menyusun kekuatan dan berhasil
membinasakan pamannya tirinya Sultan Agung beserta anaknya Pangeran Dipati,
kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Raden Basus/Suria
Negara/Pangeran Dipati Tuha diangkat sebagai Raja daerah Negara,
yang kemudian membangun kerajaan Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Aru sampai Tanjung
Silat yang diperuntukan bagi anaknya yaitu Pangeran Mangu, anak lainnya
Pangeran Citra menjadi Sultan Kelua.
|
||
11
|
Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning bin
Sultan Amrullah
|
|||
12
|
Panembahan Kasuma
Dilaga/Tahlilullah
|
* Raja Kayu Tangi. Ia
adalah mangkubumi dan adik sultan sebelumnya. Iparnya yang bernama Raden Jaya
Negara dilantik sebagai penguasa daerah Negara
|
||
13
|
Sultan il-Hamidullah/Sultan
Kuning bin Sultan Tahmidullah I
|
* Raja Kayu Tangi. Gelar
lain : Sultan Kuning atau Pangeran Bata Kuning.[74]
Panglima perang dari La Madukelleng menyerang Banjarmasin pada tahun
1733
|
||
14
|
Sultan Tamjidullah
I bin Sultan Tahmidullah I
|
* Raja Kayu Tangi. Gelar
lain: Sultan Sepuh/Panembahan Badarulalam.[74]
Raja Kayu Tangi. Ia semula mangkubuminya Sultan Kuning, kemudian setelah
mangkatnya Sultan Kuning, ia bertindak sebagai wali Putra Mahkota Pangeran
Muhammad Aliuddin Aminullah gelar Ratu Anom
yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha
Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya
Pangeran Nullah (Penembahan Hirang) dilantik sebagai mangkubumi.[75]
Tamjidullah I mangkat 1767.
|
||
15
|
Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin
Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning
|
* Raja Kayu Tangi. Ia
menggantikan mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar.
Setelah itu mantan Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar Sultan tetapi hanya
sebagai Panembahan.
Sebagai mangkubumi adalah Pangeran Nata dengan gelar Ratu Dipati, putera Sultan
Sepuh. Gelar lain : Sultan Muhammadillah/Sultan Aminullah/Muhammad
Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat
anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan
Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai
wali Putra Mahkota.
|
||
16
|
Sunan
Nata Alam bin Sultan Tamjidullah I
|
* Raja Kayu Tangi. Tahun
1771 ia memindah ibukota ke Martapura yang dinamakan Bumi Selamat. Semula
sebagai wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan
Kaharuddin Halilullah.
Pamannya yang bernama Pangeran Mas menjadi mangkubumi dengan gelar Ratu Anom
Kasuma Yuda (mangkubumi Sultan Tahmidullah
II). Ratu Anom Kasuma Yuda kemudian wafat dan digantikan Ratu
Anom Ismail atau Ratu Anom Mangkudilaga.[75]
Gelar lain : Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata
Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul
Mu'minin Abdullah(1762)/Sunan Sulaiman Saidullah I(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan
Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan Arung Trawe/Petta To
Rawe pimpinan suku Bugis-Paser yang
mengalami kegagalan, kemudian Pangeran Amir menjalin hubungan dengan suku
Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian
diasingkan ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada VOC maka dibuat
perjanjian 13 Agustus 1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar menjadi vazal VOC atau
daerah protektorat, bahkan pengangkatan Sultan
Muda dan mangkubumi harus dengan persetujuan VOC. Sultan
Tahmidullah II mempunyai saudara perempuan bernama Ratu Laiya yang menikah
dengan Sultan Muhammad dari Sumbawa. [76]
|
||
17
|
Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan
Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II
|
* Ia membangun keraton di
Karang Intan (bekas Kayu Tangi dahulu) Ia mendapat gelar Sultan
Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia
6 tahun. Dibantu oleh adiknya yaitu Pangeran Mangku Dilaga/Pangeran Ismail
dengan gelar Ratu Anom Mangku Dilaga/Ratu Anom Ismail sebagai mangkubumi
(dihukum bunuh karena merencanakan kudeta), dilanjutkan puteranya sendiri
Pangeran Husin dengan gelar Pangeran Mangku Bumi Nata (adik Sultan
Adam).[77]
Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Keturunannya menjadi Sultan
Banjar dan raja-raja Kusan, Batulicin dan Pulau Laut. Hindia Belanda jatuh ke tangan
Inggris, tetapi Inggris melepaskan kekuasaannya di Banjarmasin. Kemudian
Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin untuk menegaskan kekuasaannya.
|
||
18
|
Sultan
Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah
|
* Baginda mendapat gelar Sultan
Muda sejak tahun 1782.
Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran Noh dengan gelar Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana
sebagai mangkubumi yang dilantik Belanda pada 1842[78],
dan Pangeran Abdur Rahman sebagai Sultan Muda. Ketika mangkatnya terjadi
krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom,
Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran Hidayatullah II, Belanda sebelumnya
sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan
Muda sejak 8 Agustus 1852 juga merangkap jabatan mangkubumi dan kemudian
menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari kemudian Tamjidullah II
menandatangani surat pengasingan kandidat sultan lainnya pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom yang diasingkan ke
Bandung pada 23 Februari 1858. Tahun 1853
Sultan Adam sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II
sebagai Sultan Muda (calon Sultan) dibatalkan. Sebagai tandingan Sultan Muda
Tamjidullah, tahun 1855 Sultan Adam melantik puteranya Pangeran Prabu Anom
(adik almarhum Sultan Muda Abdul Rahman) sebagai Raja Muda.
Kemudian Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah
II sebagai Sultan Banjar penggantinya dan Pangeran Prabu Anom sebagai
Mangkubumi, surat wasiat inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap
bangsawan dan rakyat Banjar terhadap kolonial Hindia Belanda[79]
|
||
19
|
Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah
bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam
|
*Sejak 1851 ia dilantik
Belanda sebagai mangkubumi (sewaktu Sultan Muda Abdurrahaman masih hidup)
untuk menggantikan Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana
(adik Sultan Muda Abdurrahaman) yang meninggal dunia, tidak hanya itu
kemudian pada tahun 1852 ia dilantik Belanda menjadi Sultan Muda (merangkap
mangkubumi) menggantikan ayahnya Sultan Muda Abdurrahman yang mangkat pada 5
Maret 1852, walaupun pelantikannya sebagai Sultan Muda ini tidak disetujui
kakeknya Sultan Adam. Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar,
padahal ia anak selir meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda
mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Jalur suksesi menurut tradisi
kesultanan Banjar, untuk promosi jabatan putera-putera dari seorang Sultan
yang bertahta, maka putera permaisuri yang sulung dilantik sebagai Sultan
Muda dan seorang putera yang lainnya akan dilantik sebagai mangkubumi
(jabatan bergengsi kedua setelah Sultan). Pelantikan Tamjidullah II ini
sengaja dibuat salah oleh Belanda. Tamjidullah II memiliki tanah lungguh di
Kota Banjarmasin karena itu sebagian rakyat dan ulama Banjarmasin
mendukungnya. Banjarmasin menurut tradisi berada di bawah otoritas putera
tertua Sultan. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena
menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan karena ia anak
permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan
Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor. Sultan Seman, mertua Tamjidullah II ditangkap dan
dihukum gantung dengan empat orang pengikutnya dengan tuduhan melakukan
pemberontakan. Sebagai pengganti jabatan Sultan Banjar yang kosong, Belanda
melantik komisi pemerintahan kerajaan yang terdiri atas Pangeran Surya
Mataram dan Pangeran Muhammad Tambak Anyar. Sementara Sultan Muda menghindari
penangkapan Belanda melarikan diri ke pulau Sumatera.
|
||
20
|
Sultan Hidayatullah Halilillah bin
Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam
|
* Nama lahirnya adalah Gusti
Andarun, kemudian sebagai mangkubumi ia memakai gelar Pangeran
Hidayatullah. Ia dikenal sebagai Sultan tanpa mahkota. Sesuai wasiat
Sultan Adam ia sebagai Sultan Banjar penggantinya. Pada 9 Oktober 1856 ia
dilantik Belanda sebagai mangkubumi tetapi diam-diam ia menjadi oposisi
Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Kiai Adipati Anom Dinding Raja
(Jalil) sebagai tandingan adipati Banua Lima Kiai Adipati Danu Raja yang berada di pihak
Belanda/Sultan Tamjidullah II. Pangeran Hidayatullah II memiliki tanah
lungguh meliputi Alai, Paramasan, Amandit, Karang Intan, Margasari dan
Basung. Perjuangan Sultan Hidayatullah II dibantu oleh tangan kanannya Demang
Lehman yang memegang pusaka kerajaan Keris Singkir dan Tombak Kalibelah. [80]
Ketika berada di Banua Lima pada bulan September 1859, ia dilantik di
Amuntai oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira
Kasuma sebagai mangkubumi. Pelantikan ini untuk memenuhi angan-angan rakyat
Banua Lima walaupun bersifat marjinal karena pada dasarnya seluruh wilayah
berada dalam kekuasaan Belanda. Penobatanya ini pada umumnya disetujui pula
oleh rakyat yang berada di Banua Lima maupun di luar Banua Lima. Pada tanggal
11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen
mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar yang digantikan komisi kerajaan
dibawah Pangeran Suria Mataram (anak Sultan Adam) dan Pangeran Mohammad
Tambak Anyar (anak Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana).
Sultan Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur
|
||
21
|
Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin
Sultan Amir[81]
bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
|
* Raja Bakumpai.
Pada 14
Maret 1862,
yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur, rakyat Tanah
Dusun, Siang dan Murung memproklamasikan pengangkatan Pangeran Antasari
sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin. Khalifah ini dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang.
Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman sungai
Barito, Murung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober
1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, karena penyakit
cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari,
Banjarmasin.
|
||
22
|
Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
|
* Raja Pagustian/Kastapura[82]
. Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian
meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari
melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti
Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima
Batur sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari
bin Panembahan Muhammad Said sebagai Sultan
Muda. Pangeran Perbatasari tertangkap di daerah Pahu, Kutai
Barat dan dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Sultan Muhammad Seman
sempat mengirim Panglima Bukhari ke Kandangan
untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari
1905 ditembak
Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang
tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke
Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang
tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman
adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan
Residen Belanda dilanjutkan Gubernur
Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman
Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur
Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.
|
||
23
|
Sultan Haji Khairul
Saleh Al-Mu'tashim Billah bin Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran
Haji Abubakar bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah
|
*Sultan Haji Khairul Saleh
Al-Mu'tashim Billah zuriat dari Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman. Pada
masa kemelut Perang Banjar, hanya Pangeran Singosari (saudara Sultan Adam)
dan Pangeran Surya Mataram (anak Sultan Adam) yang masih dipercaya oleh
rakyat Banjar sebagai tempat mengadukan segala permasalahan pada masa itu.
Pangeran Singosari merupakan "perwakilan" Kesultanan Banjar di
Banua Lima. Setelah lama mengalami kevakuman, para zuriat Kesultanan Banjar
bertekad "Maangkat Batang Tarandam" untuk menghidupkan kembali
Kesultanan Banjar. Maka melalui musyawarah Tinggi Adat, para zuriat yang
tergabung dalam Lembaga Adat dan
Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB), pada 24
Juli 2010 resmi menganugerahkan gelar Pangeran dan menobatkan Gusti
Khairul Saleh (Bupati Kabupaten Banjar 2005-2015) sebagai Raja
Muda Banjar dan seterusnya diangkat menjadi Sultan Banjar.
|
|
|
Rujukan
- Paul
Michel Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung
Malaysia, Mitra Abadi, Maret 2009.
- Hikayat
Banjar
- (Inggris) Han Knapen, Forests of fortune?: the
environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880, Jilid 189 dari
Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, KITLV Press, 2001, ISBN
90-6718-158-7, 9789067181587
Pranala luar
- (Indonesia) 20
Tokoh Dapat Gelar dari Kesultanan Banjar
- (Indonesia) Kesultanan
Banjar Pertahankan aksara Arab Melayu Banjar
- (Indonesia) Sultan
Adam al Watsiqubillah
- (Indonesia) Banjar Kesultanan,
Indonesia
- (Indonesia) Lembaga
Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar
- (Inggris)Daftar
Sultan Banjar dalam Regnal Chronologies
- (Indonesia) Daftar
Sultan Banjar dalam Indonesian Traditional States II
- (Indonesia)Silsilah Sultan
Banjar-Pulau Laut versi Gusti Abdul Aziz
- (Indonesia)Sejarah
Kerajaan Banjar di MelayuOnline.com
- (Inggris)Territorial
Expansion and Contraction in the Malay Traditional Polity as Reflected in
Contemporary Thought and Administration
- (Indonesia) Kepercayaan
Masyarakat Talan Terhadap Danau Undan di Kecamatan Banua Lawas Kabupaten
Tabalong
- (Indonesia) Kerajaan Banjar
- (Belanda) Banjer-Massin
- Overzicht van de vestigingen van de Verenigde Oostindische Compagnie
Catatan kaki
1.
^ (Belanda) van Rees, Willem Adriaan (1865). De
bandjermasinsche krijg van 1859-1863: met portretten, platen en een
terreinkaart 1. D. A. Thieme. hlm. 9.
2.
^ (Inggris) (1846)Elijah Coleman Bridgman, Samuel Wells Williams (ed.). The
Chinese repository 15. hlm. 506.
4.
^ Sesudah di Pemakuan, keraton sempat dibangun di Amuntai
tetapi batal didiami karena Marhum Panembahan mendapat mimpi bahwa Pangeran
Suryanata melarangnya menjadikan Amuntai sebagai ibukota kembali karena negeri
lawas itu sudah rusak (Hikayat Banjar)
5.
^ a
b
(Inggris)J. H., Moor (1837). Notices
of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of
papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine
islands .... Singapore: F.Cass & co.
6.
^ Dengan ditemukannya deposit batubara di daerah dekat Bumi
Selamat/Martapura, maka pemerintah Hindia Belanda merencanakan mengambil alih
Martapura dan memindah ibukota Kesultanan Banjar ke kota Nagara, bekas ibukota
di era Kerajaan Hindu Negara Daha
7.
^ Perkara 1 Undang-undang Sultan Adam 1835: “Adapoen perkara
jang pertama akoe soeroehkan sekalian ra’jatkoe laki-laki dan bini-bini
beratikat dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada seorang baratikat dengan
atikat ahal a’bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang jang beratikat lain
daripada atikat soenat waldjoemaah koesoeroeh bapadah kapada hakimnja, lamoen
benar salah atikatnja itoe koesoeroehkan hakim itoe menobatkan dan mengadjari
atikat jang betoel lamoen anggan inja dari pada toebat bapadah hakim itu kajah
diakoe”.
8.
^ (Inggris) van Panhuys, H. F.; T.M.C. Asser Instituut (1978). International
law in the Netherlands 1. BRILL. hlm. 156. ISBN 9028601082. ISBN
978-90-286-0108-6
9.
^ (Inggris)The
New American encyclopaedia: a popular dictionary of general knowledge 2.
D. Appleton. 1865. hlm. 571.
10.
^ (Inggris) Houtsma, M. Th. E.
J. Brill's first encyclopaedia of Islam 1913-1936. BRILL.
hlm. 647. ISBN 9004082654.ISBN
978-90-04-08265-6
13.
^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah
nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia. PT Balai Pustaka. hlm. 85. ISBN 9794074098.ISBN
978-979-407-409-1
14.
^ (Belanda) Van Doren, J. B. J (1860). Bydragen
tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1.
J. D. Sybrandi.
15.
^ (Inggris) Ooi, Keat Gin. Southeast
Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor 3.
ABC-CLIO, 2004. hlm. 211. ISBN 1576077705.ISBN
978-1-57607-770-2
16.
^ (Inggris) Brookes, Richard (1843). Brookes's
Universal gazetteer: re-modelled and brought down to the present time.
E.H. Butler. hlm. 73.
18.
^ (Indonesia) Chambert-Loir, Henri; Wisamarta,Lukman (Khatib.) (2004). Kerajaan
Bima dalam sastra dan sejarah. Kepustakaan Populer Gramedia.
hlm. 121. ISBN 9799100119. ISBN
978-979-9100-11-5
20.
^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya
kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT
LKiS Pelangi Aksara. hlm. 70. ISBN 9798451163.ISBN
978-979-8451-16-4
21.
^ a
b
Hermanus Johannes de Graaf, Puncak kekuasaan
Mataram: politik ekspansi Sultan Agung, Grafitipers, 1986
22.
^ (Inggris) (2007)"Mataram's
overseas empire". Digital Atlas of Indonesian History. Robert
Cribb. Diakses 11 August 2011.
23.
^ a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
(Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat
Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia:
Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405.ISBN
983621240X
24.
^ (Belanda)van Dijk, Ludovicus
Carolus Desiderius; George Willem Vreede (1862). Neêrlands
vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en
Cochin-China: een nagelaten werk. J. H. Scheltema. hlm. 23.
25.
^ (Inggris) Ooi, Keat Gin (2004). Southeast
Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East ... 3.
ABC-CLIO. hlm. 211. ISBN 9781576077702.ISBN 1-57607-770-5
26.
^ (Indonesia) Kartodirdjo, Sartono (1993). Pengantar
sejarah Indonesia baru, 1500-1900: Dari emporium sampai imperium.
Gramedia. hlm. 121. ISBN 9794031291.ISBN
978-979-403-129-2
27.
^ (Indonesia) M. Shaleh Putuhena, Historiografi
haji Indonesia, PT LKiS Pelangi Aksara, 2007 ISBN 979-25-5264-2, 9789792552645
28.
^ (Inggris) John Bucknill, The coins of the
Dutch East Indies: an introduction to the study of the series, sian Educational
Services, 2000 ISBN 81-206-1448-8, 9788120614482
34.
^ (Inggris) Pinkerton, John (1812). A
general collection of the best and most interesting voyages and travels in all
parts of the world: many of which are now first translated into English :
digested on a new plan 11. Longman. hlm. 111.
35.
^ (Belanda) Rees, Willem Adriaan (1865). De
bandjermasinsche krijg van 1859-1863. D. A. Thieme. hlm. 2.
37.
^ (Inggris) Brookes, Richard (1838). The
London general gazetteer; or, compendious geographical dictionary....
T. Tegg and Son. hlm. 61.
38.
^ (Inggris) Smedley, Edward (1845). Encyclopædia
metropolitana; or, Universal dictionary of knowledge. hlm. 713.
40.
^ (Belanda) Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk
Indonesia (1856). Indonesian
journal for natural science. 10-11.
41.
^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah
nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. PT Balai
Pustaka. ISBN 9794074101.ISBN
9789794074107
44.
^ (Inggris) Thorn, Sir William (2004). The conquest of Java. Tuttle
Publishing. ISBN 0794600735.ISBN
9780794600730
45.
^ (Inggris) Jedidiah Morse, Aaron Arrowsmith, Samuel Lewis (1819). The
American universal geography: or, A view of the present state of all the
kingdoms, states and colonies in the known world... (ed. 7). Published
by Lincoln & Edmands, S.T. Armstrong, West, Richardson & Lord.
hlm. 687.
46.
^ (Inggris)Hamilton, Walter (M. R. A.
S.) (1828). The
East Indian Gazetteer: Containing Particular Descriptions of the Empires,
Kingdoms, Principalities, Provinces, Cities, Towns, Districts, Fortresses,
Harbours, Rivers, Lakes, &c. of Hindostan, and the Adjacent Countries,
India Beyond the Ganges, and the Eastern Archipelago; Together with Sketches of
the Manners, Customs, Institutions, Agriculture, Commerce, Manufactures,
Revenues, Population, Castes, Religion, History, &c. of Their Various
Inhabitants,. Printed for Parbury, Allen and Co.
48.
^ (Inggris)A
Gazetteer of the world: or, Dictionary of geographical knowledge, compiled from
the most recent authorities, and forming a complete body of modern geography --
physical, political, statistical, historical, and ethnographical, Volume 5.
A. Fullarton. 1856.
49.
^ (Inggris)Ongsotto, Et Al, Ongsotto, Et Al (2002). Philippine
History Module-based Learning I' 2002 Ed.. Rex Bookstore, Inc. ISBN 9789712334498. ISBN 971-23-3449-X
50.
^ (Inggris)Balfour, Edward (1885). The
cyclopædia of India and of eastern and southern Asia, commercial industrial,
and scientific: products of the mineral, vegetable, and animal kingdoms, useful
arts and manufactures, Jilid 2. Bernard Quaritch.
51.
^ (Jerman)Waitz, Theodor; Georg Karl
Cornelius Gerland (1865). [Anthropologie
der naturvölker: Die Völker der Südsee. Pt.1 Die Malaien. Pt.2. Die Mikron
esier und nordwestlichen Polynesier. F. Fleischer.
52.
^ (Jerman)Berlin, Gesellschaft für Erdkunde (1867). Zeitschrift
der Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin: zugl. Organ d. Deutschen
Geographischen Gesellschaft, Volume 2. Gesellschaft für Erdkunde.
53.
^ (Jerman)Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin, Gesellschaft für Erdkunde
zu Berlin (1867). Zeitschrift.
D. Reimer.
54.
^ (Belanda) Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia,
Madjalah ilmu alam untuk Indonesia. Indonesian journal for natural science,
Volume 2, 1851
55.
^ Cabang-cabang Kerajaan Tanjungpura/Sukadana merupakan
sebagian besar Kalbar seperti Kerajaan
Tayan, Kerajaan Meliau, Kerajaan Sekadau, Kerajaan
Mempawah, tidak termasuk Sambas, Landak, Sanggau, Sintang
dan Mlawai/Melawi. Belakangan Sanggau ditaklukan Sultan Pontianak atas perintah
VOC
56.
^ (Inggris)Soekmono, Soekmono (1981). Pengantar
sejarah kebudayaan Indonesia 3. Kanisius,. ISBN 9794132918.ISBN 978-979-413-291-3
57.
^ (Inggris)Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indië 23 (1-2). hlm. 218.
58.
^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga
Kebudajaan Indonesia (1857). Tijdschrift
voor Indische taal-, land-, en volkenkunde 6. Lange & Co.
hlm. 243.
59.
^ (Indonesia) Abdul Gafar Pringgodigdo, Hassan
Shadily, Ensiklopedi umum, Kanisius, 1973 ISBN 979-413-522-4, 9789794135228
60.
^ (Indonesia)
Hermanus Johannes de Graaf, Puncak kekuasaan Mataram: politik ekspansi Sultan
Agung, Grafitipers, 1986
62.
^ (Indonesia) Bernard Dorléans, Orang Indonesia dan
orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX, Kepustakaan Populer
Gramedia, 2006, ISBN 979-9100-50-X, 9789799100504
63.
^ (Indonesia)
Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan
Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan
Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia,
Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
70.
^ (Inggris) Souza, George Bryan (2004). The
Survival of Empire: Portuguese Trade and Society in China and the South China
Sea 1630-1754. Cambridge University Press. hlm. 127. ISBN 0521531357.ISBN
9780521531351
71.
^ (Belanda) Willem Adriaan Rees, De
bandjermasinsche krijg van 1859-1863: met portretten, platen en een
terreinkaart, D. A. Thieme, 1865
72.
^ (Indonesia)Helius
Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti
perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906; Balai
Pustaka, 2001
74.
^ a
b
Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup
orang-orang besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang, 1965
76.
^ (Belanda) Tijdschrift voor Indische taal-,
land- en volkenkunde, Jilid 14, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen, 1864
77.
^ Padoeka Pangeran Mangkoe Boemi, yang memegang parintah
dalam negrie BANDJARMASING (Belanda) Philippus Pieter Roorda van Eysinga,
Handboek der land- en volkenkunde, geschiedtaal-, aardrijks- en staatkunde von
Nederlandsch Indie. 3 boeken [in 5 pt., 1841]
78.
^ (Indonesia)
Mohamad Idwar Saleh, Sri Sutjiatiningsih; Pangeran
Antasari, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993
79.
^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro,
Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah
nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19, PT Balai Pustaka, 1992,
ISBN 979-407-410-1, 9789794074107
80.
^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen, Notulen van de Directievergaderingen van het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Jilid 3, 1866
82.
^ (Indonesia) Susanto, A. Budi (2007). Masihkah
Indonesia. Kanisius. hlm. 216. ISBN 9792116575.ISBN
9789792116571
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Berika Komentarnya