No
|
Tingkat
|
Umur
|
Nama
|
Karakteristik
|
1
|
Tingkat 1
|
0-9 thn
|
Prakonvensional
|
|
Tahap 1
|
Moralitas heteronomi (orientasi kepatuhan dan hukuman)
|
Melekat pada aturan
|
||
Tahap 2
|
Individualisme/
instrumentalisme
(orientasi minat pribadi)
|
Kepentingan nyata individu. Menghargai kepentingan
oranglain
|
||
2
|
Tingkat 2
|
9-15 thn
|
Konvensional
|
|
Tahap 3
|
Reksa interpersonal
(orientasi
keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik)).
|
Mengharapkan hidup yang terlihat baik oleh orang lain
dan kemudian telah menganggap dirinya baik.
|
||
Tahap 4
|
Sistem sosial dan hati nurani (orientasi otoritas dan
pemeliharaan aturan sosial (moralitas hukum dan aturan))
|
Memenuhi tugas sosial untuk menjaga sistem sosial yang
berlangsung.
|
||
3.
|
Tingkat 3
|
Diatas 15
thn
|
Pascakonvensional
|
|
Tahap 5
|
Kontrak sosial
|
Relatif menjungjung tinggi aturan dalam memihak kepantingan dan
kesejahteraan untuk semua.
|
||
Tahap 6
|
Prinsip etika universal
|
Prinsip etis yang dipilih sendiri, bahkan ketika ia
bertentangan dengan hukum
|
Perkembangan moral menurut Piaget terjadi dalam dua tahapan yang jelas.
Tahap pertama disebut “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh
pembatasan” dan tahap kedua disebut “tahap moralitas otonomi” atau
“moralitas oleh kerjasama atau hubungan timbal balik”.
Pada tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis
terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap
orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan
anak mengikuti peraturan yang diberikan oleh mereka tanpa mempertanyakan
kebenarannya.
Pada tahap kedua, anaka menilai perilaku atas dasar tujuan yang
mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan
berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebuh. Anak mulai mempertimbangkan
keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral.
C. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi
nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang
dianggapnya sebagai model.
Bagi para ahli psikoanalisis, perkembangan moral dipandang sebagai
proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai
kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis, moral dan
nilai menyatu dalam konsep superego yang dibentuk melalui jalan
internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari
luar (khususnya orang tua) sedemikian rupa, sehingga akhirnya terpencar
dari dalam diri sendiri.
Teori-teori lain yang non psikoanalisi beranggapan bahwa hubungan
anak-orang tua bukan satu-satunya sarana pembentukan moral. Para
sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting
dalam pembentukan moral.
Dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup
terterntu, Banyak factor yang mempengaruhi perkembangan moral peserta
didik, diantaranya yaitu:
1) Faktor tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2) Faktor
seberapa banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman,
orang-orang yang terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh
anak sebagai gambaran-gambaran ideal.
3) Faktor
lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala segala unsur
lingkungan social yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah
unsure lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi
oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4) Faktor
selanjutnya yang memengaruhi perkembangan moral adalah tingkat
penalaran. Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg,
dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget.
Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap
perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5) Faktor
Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari
dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga,
sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.
D. Upaya Optimalisasi Perkembangan Moral
Hurlock mengemukakan ada empat pokok utama yang perlu dipelajari oleh anak dalam mengoptimalkan perkembangan moralnya, yaitu :
1) Mempelajari
apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana
dicantumkan dalam hukum. Harapan tersebut terperinci dalam bentuk hukum,
kebiasaan dan peraturan. Tindakan tertentu yang dianggap “benar” atau
“salah” karena tindakan itu menunjang, atau dianggap tidak menunjang,
atau menghalangi kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan yang paling
penting dibakukan menjadi peraturan hukum dengan hukuman tertentu bagi
yang melanggarnya. Yang lainnya, bertahan sebagai kebiasaan tanpa
hukuman tertentu bagi yang melanggarnya.
2) Pengambangan
hati nuranni sebagai kendali internal bagi perliaku individu. Hati
nurani merupakan tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan mengenai
beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan
mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum.
3) Pengembangan
perasaan bersalah dan rasa malu. Setelah mengembangkan hati nurani,
hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Rasa
bersalah adalah sejenis evaluasi diri, khusus terjadi bila seorang
individu mengakui perilakunya berbeda dengan nilai moral yang
dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Rasa malu adalah reaksi emosional
yang tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya
penilaian negatif terhadap dirinya. Penilaian ini belum tentu
benar-benar ada, namun mengakibatkan rasa rendah diri terhadap
kelompoknya.
4) Mencontohkan,
memberikan contoh berarti menjadi model perilaku yang diinginkan muncul
dari anak, karena cara ini bisa menjadi cara yang paling efektif untuk
membentuk moral anak.
5) Latihan
dan Pembiasaan, menurut Robert Coles (Wantah, 2005) latihan dan
pembiasaan merupakan strategi penting dalam pembentukan perilaku moral
pada anak usia dini. Sikap orang tua dapat dijadikan latihan dan
pembiasaan bagi anak. Sejak kecil orang tua selalu merawat, memelihara,
menjaga kesehatan dan lain sebagainya untuk anak. Hal ini akan
mengajarkan moral yang positif bagi anak
6) Kesempatan
melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial
memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Tanpa interaksi
dengan orang lain, anak tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui
secara social, maupun memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk
tidak berbuat sesuka hati.
Interaksi sosial awal terjadi didalam kelompok keluarga. Anak belajar
dari orang tua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain tentang apa
yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Disini anak
memperoleh motivasi yanjg diperlukan untuk mengikuti standar perilaku
yang ditetapkan anggota keluarga.
Melalui interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk
belajar kode moral, tetap mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar
bagaimana orang lain mengevaluasi perilaku mereka. Karena pengaruh yang
kuat dari kelompok sosial pada perkembangan moral anak, penting sekali
jika kelompok sosial, tempat anak mengidentifikasikan dirinya mempunyai
standar moral yang sesuai dengan kelompok sosial yang lebih besar dalam
masyarakat.
Sumber-Sumber:
- Sudarwan Damin dan Khairil, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 80-81
- Ahmad Fauzi dkk, Perkembangan Peserta Didik, (LAPIS PGMI, 2008), hlm 9-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Berika Komentarnya