Konsep Dasar Pendidikan Karakter Islami
adalah :
Ø Pengertian dan Tujuan
Ø Dasar pembentukan karakter
manusia
Ø Urgensi pembentukan
karakter bangsa
Ø Urgensi pembentukan
karakter Islami
Apa
Itu Karakter?
Karakter
secara harfiyah berasal dari bahasa Latin “character”, yang berarti: watak,
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.
Secara
istilah karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya di mana manusia
mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Jadi
karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang.
Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat-istiadat.
Karakter
= akhlak dan budi pekerti. Karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa/budi
pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan
berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang
tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang
baik.
Pendidikan
Karakter
Pendidikan
karakter adalah penanaman nilai esensial dengan pembelajaran dan
pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami,
dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values ke dalam kepribadiannya.
Pendidikan karakter dalam grand desain pendidikan karakter, adalah proses
pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan
pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat
Pendidikan
karakter dalam Islam dapat dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan kepada
anak didik dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan Tuhannya,
diri sendiri, antarsesama, dan lingkungannya sebagai manifestasi hamba dan
khalifah Allah
Manifestasi
hamba dan khalifah-Nya
Sesuai
dengan al-Dhariyat (51): 56; al-Bayyinah (98): 5;dan al-Baqarah (2): 30.
Maka
hanya orang yang bertakwalah yang mampu menunjukkan sebagai pribadi hamba dan
khalifah Allah.
Jadi,
tujuan pendidikan karakter Islami: menjadikan anak didik sebagai hamba dan
khalifah Allah yang berkualitas taqwa. Pekerjaan atau aktifitas taqwa meliputi
semua bidang mulai dari keyakinan hidup, ibadah, moralitas, aktifitas interaksi
sosial, cara berfikir, hingga gaya hidup.
Indikator
orang berkualitas taqwa menurut al-Qur’an:
1. Memiliki keyakinan yang
membara dan kuat bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu (QS. 2: 3)
2. Memiliki perspektif jangka
panjang. Kebiasaan memandang jauh ke depan sehingga menjadi pribadi yang
proaktif (QS. 59: 18)
3. Memiliki obsesi dan
cita-cita yang sangat tinggi. Berambisi menjadi orang yang berilmu dan berharta
untuk didayagunakan di jalan kebaikan untuk mencapi ridho Allah (QS. 2: 218)
4. Mempunyai speed dalam
berprestasi; selalu mengejar mutu pada semua aspek kepribadian; keunggulan dan
kesempurnaan selalu menjadi standar dalam meningkatkan kualitas diri, sehingga
peluang besar menuju kesuksesan akan dapat diraih (QS. 3: 153; QS. 5: 48)
5. Selalu berobsesi menjadi
yang terdepan. Siap memasuki medan kompetisi dalam kebaikan secara sehat dan
konstruktif. Dunia dijadikan sarana mengabdi dan mendekat kepada Allah dan
berbuat amal kebaikan kepada sesama. Orang yang bertaqwa tidak layak bekerja,
berusaha, berprestasi seadanya, tanpa greget, tanpa target, dan tanpa kualitas
unggul (QS. 5: 48; QS. 23: 61)
6. Waktu-waktunya efektif dan
produktif; membiasakan bekerja dengan tingkat efesiensi, efektifitas, dan
produktifitas tinggi. Meninggalkan segalaperkataan dan tindakan yang tidak bermanfaat
(QS. 23: 1 dan 3)
7. Memiliki semangat kolektif
dan kolaboratif. Kebersamaan, sinergi, dan harmoni menjadi watak kehidupan
sebagaimana alam ini diciptakan. Mewujudkan keunggulan dalam kebaikan akan
mudah diraih dengan kemampuan bekerjasama dan tolong menolong dengan sesama
(QS. 5: 3)
Dasar
Pembentukan Karakter
Sifat
dasar manusia yang diberikan Allah adalah sifat fujur (cenderung kepada
keburukan/kefasikan) dan sifat taqwa (cenderung kepada kebaikan), sebagaimana
QS. Al-Shams, 91: 7-8. kedua sifat inilah yang menjadi dasar pembentukan
karakter (nilai baik atau buruk). Nilai baik disimbolkan dengan nilai malaikat
dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai setan. Karakter manusia adalah hasil
tarik menarik antara kedua nilai tersebut dalam bentuk energi positif dan
negatif.
Energi
positif berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan terhadap
Tuhan, sebaliknya energi negatif berupa nilai-nilai a moral yang bersumber dari
taghut (setan). Nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, penyucian dan
pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani).
Energi
Positif, berupa:
1. Kekuatan spiritual; iman,
islam, ihsan, dan taqwa untuk mencapai ahsani taqwim (makhluq etis dan
kemanusiaannya yang hakiki)
2. Kekuatan kemanusiaan
positif; aqlu as-salim, qalbun salim, qalbun munib (hati yang kembali, bersih,
suci dari dosa), dan nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang). Kesemuanya merupakan
modal insani/SDM yang memiliki kekuatan luar biasa.
3. Sikap dan perilaku etis
(merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kepribadian manusia,
berupa; istiqamah (integritas), ihlas, jihad, dan amal salih.
Energi
positif ini dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter,
yi orang yang bertaqwa, berintegritas (nafsu mutmainnah), dan beramal shalih.
Aktualisasi orang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
akhlaq yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan
dedikasi), capacity (kecakapan), dan competency yang bagus pula (profesional)
Energi Negatif; disimbolkan dengan kekuatan materialistik
dan nilai-nilai thaghut (nilai-nilai destruktif) yang fungsinya sebagai
pembusukan dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Berupa:
1. Kekuatan taghut; kufr,
munafiq, fasik, dan shirik. Kekuatan yang menjauhkan manusia dari ahsani taqwim
menjadi makhluk yang serba material (asfala safilin)
2. Kekuatan kemanusiaan
negatif; pikiran jahiliyyah (pikiran sehat), qalbun marid (hati sakit, tidak
merasa), qalbun mayyit (mati, tidak bernurani), dan nafsu al-lawwamah, yang
menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, seks,
dan kekuasaan (taghut).
3. Sikap dan perilaku tidak
etis (implementasi kedua kekuatan yang dapat melahirkan konsep-konsep normatif
tentang nilai-nilai budaya busuk. Meliputi: takabbur, hubb ad-dunya
(materialistik), zalim, dan a’mal as-sayyi`at (destruktif)
Akan
melahirkan pribadi berkarakter buruk, yang puncak keburukannya meliputi shirik,
nafs lawwamah, dan a’mal sayyiat. Aktualisasinya melahirkan perilaku tercela,
yi orang yang berkepribadian tidak bagus (hipokrit, penghianat, dan pengecut)
dan tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
Urgensi
Pendidikan Karakter Bangsa
1. Memudarnya nasionalisme dan
jati diri bangsa
2. Merosotnya harkat dan
martabat bangsa
3. Mentalitas bangsa yang
buruk
4. Krisis multidimensional
5. Degradasi moral perusak
karakter bangsa
Memudarnya
nasionalisme dan jati diri bangsa
Nasionalisme:
cinta tanah air, bangsa, dan negara; rela berjuang dan berkorban untuk
kejayaannya; ada heroisme, altruisme dan patriotisme; mengesampingkan
individualisme, hedonisme, dan sparatisme.
Indikator:
1. Berkembangnya
individualisme, hedonisme, terorisme dan sparatisme;
2. untuk berebut menjadi
pejabat/PNS/dll harus menyuap (bukan abdi negara, tapi penghianat, bukan
pejuang tapi pecundang);
3. munculnya sparatisme,
terorisme, dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang mengingkari paham
kebangsaan, cinta tanah air dan negara;
4. enggan memakai produksi
dalam negeri.
Merosotnya
harkat dan martabat bangsa
Indonesia
sejatinya bangsa dan negara besar serta berpredikat positif, namun semua itu
sirna karena predikat baru yang negatif seperti terkorup, bangsa yang soft
nation, malas, sarang teroris, hilang keramah-tamahannya, banyak kerusuhan,
banyak bencana, dls.
Fenomena
lain: “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” atau menjadi
bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”. Faktanya, Indonesia
negara pengekspor kuli/babu/tenaga kasar/unskill terbesar (mendatangkan devisa,
tapi madharatnya lebih besar)
Mentalitas
bangsa yang buruk
Indonesia
memiliki modal/kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang
kuat; luas wilayah,jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan
bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang
demokratis. Namun semua itu tak akan ada arti jika mentalitas bangsanya belum
terbangun dan belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas penghambat
tersebut di antaranya: malas, tidak disiplin, suka melanggar aturan, aji
mumpung, suka menerabas, dan nepotisme.
Media
yang ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah pendidikan dan keyakinan
agama. Pendidikan? Pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
sepenuh hati, bukan sekedar formalitas atau kepura-puraan. Pendidikan agama
yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul
karimah, niscaya menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang
bermanfaat dengan amal shalihnya.
Krisis
multidimensional
Permasalahan
Indonesia: konflik sosial, sering mengedepankan kekerasan dalam memecahkan
masalah, praktik korupsi yang semakin canggih dan massif, perkelahian antar
pelajar-mahasiswa-warga-anggota dewan, pelanggaran etika dan susila yang
semakin vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara peyelesaiannya yang
cebderung menggunakan kekerasan, tindak kejahatan yang mengancam ketentraman,
praktek demokrasi liberal yang ekstrem dalam berbagai aspek kehidupan yang
bertabrakan dengan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang
religius.
Sebagai
bangsa muslim terbesar, masalahnya banyak muslim Indonesia yang belum at home
sebagai Bangsa Indonesia. Mereka tidak menerima negara pancasila, dan tidak
memiliki kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam perbedaan.
Dampaknya masih kuat ekslusifitas, maraknya gerakan umat yang kontra produktif,
seperti terorisme, gerakan bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara,
berbagai bentuk pembangkangan dan perlawanan terhadap negara dan pemerintahan
yang sah. Akibatnya berangkai, sangat luas, dan kontra produktif bagi
bangsa-negara dan umat Islam sendiri.
Permasalahahn
di bidang pendidikan…diperparah dengan tayangan televisi yang sangat vulgar,
life, dan tidak mengenal waktu tayang. Tindakan memfitnah, memperolok, menghin,
mengadu domba, pembunuhan karakter juga difasilitasi oleh media.
Satu
kata: Prihatin!
Ø Bagaimana kualitas generasi
muda di amsa depan?
Ø Citra dan daya saing bangsa
yang semakin rendah dan direndahkan
Ø Stigma muslim yang
diidentikkan dengan teroris, anti intelektual, dan anti peradaban
Ø Krisis
etika dan moral
Ø Bisa korupsi dianggap
prestasi
Ø Penipuan dianggap lumrah
asalkan tidak keterlaluan
Ø Hilangnya budaya malu
(marwah)
Ø Jujur ajur
Ø Berbohong biasa
Ø Hilangnya keperawanan tidak
lagi disesalkan
Ø Politik uang untuk membeli
kekuasaan
Ø Berbudi bahasa yang santun
dianggap kelemahan dan gak gaul
Ø Agama tidak lagi dipedomani
sebagai akhlak melainkan sebagai alat kepentingan dan kekuasaan, dan
Ø Bahasa kekerasan adalah
bahasa kekuasaan dan ketertindasan
Ø Degradasi
moral perusak karakter bangsa
Eksistensi,
kemuliaan dan kejayaan suatu bangsa tergantung akhlaknya. Demikian juga
keterpurukan, kehinaan, dan kehancurannya.
Menurut
psikolog dan ahli pendidikan AS, Thomas Lichona tanda-tanda degradasi moral:
Ø Meningkatnya kekerasan pada
remaja
Ø Penggunaan kata-kata memburuk
Ø Pengaruh peer group (rekan
kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
Ø Meningkatnya penggunaan
narkoba, alkohol dan seks bebas
Ø Kaburnya batasan moral
baik-buruk
Ø Menurunnya etos kerja
Ø Rendahnya rasahormat kepada
orang tua dan guru
Ø Rendahnya rasa tanggung
jawab individu dan warga Negara
Ø Membudayanya ketidakjujuran
Ø Adanya saling curiga dan
kebencian di antara sesama.
Urgensi
Pendidikan Karakter Islami
1. Umat muslim merupakan
mayoritas penduduk Indonesia. Baik-buruknya Indonesia pasti berdampak pada muslim.
2. Kesenjangan antara muslim
cita dan muslim fakta
3. Mengawinkan antara
keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Mengawinkan ketiganya, seorang muslim
akan memiliki tiga kesadaran: kesadaran ideal (keislaman), kesadaran tempat
(keindonesiaan), dan kesadaran waktu (kemodernan), diharapkan muslim akan
memiliki kearifan, kemuliaan, dan kejayaan.
4. Etika dan moral Islam
adalah moralitas agama yang mengarahkan manusia berbuat baik antar sesamanya
agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur. Berislam yang tidak membuahkan
akhlak adalah sia-sia. Menurut Raghib al-Asfahani, etika Islam berbentuk
ethical individual social egoism dalam motivasi moral. Maksudnya, etika sosial
Islam tidak hendak memasung otoritas individu untuk sosial (paham
komutarianisme) atau mengorbankan sosial untuk individu (paham universalisme).
Etika Islam harus berlandaskan cita-cita keadilan dan kebebasan individu untuk
melakukan kebaikan sosial.
Kesenjangan
antara muslim cita dan fakta
Dalam
perspektif pembangunan, ada 3 kelompok muslim:
1. Muslim berideologi Islam
politik; menjadikan Islam iseologi politik, bertujuan mendirikan negara
Islam/khilafah islamiyyah, biasanya bersifat radikal, tidak merasa menjadi
Indonesia, sedikit kontribusinya bagi pembangunan, sebaliknya merongrong
kedaulatan RI
2. Muslim mistik; disibukkan
dengan urusan ritual keagamaan bahkan yang bersifat mistik, tidak mempersoalkan
keindonesiaan tetapi juga tidak memberikan kontribusi yang berarti dan tidak
juga membahayakan Negara
3. Muslim moderat; muslim
ideal karena berprinsip keseimbangan antara urusan dunia-akhirat, selalu
berusaha menjadi ummatan wasathan, di mana pun berada berusaha memberi manfaat.
Ciri muslim moderat: at home di Indonesia, mencintai, berjuang dan rela
berkorban untuk bangsa dan negara, dan memberi kontribusi bagi pembangunan.
Ketiganya
masih ada, bahkan muslimpolitik semakin menguat pasca reformasi. Dalam konteks
pembangunan karakter bangsa, diarahkan untuk menjadi muslim moderat/ideal.
Karakter
merupakan bagian tak terpisahkan dari individu. Erma Pawitasari, Kandidat
Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor seperti yang dilansir insistent.com
menerangkan bahwa karakter identik dengan akhlaq, yakni kecenderungan jiwa
untuk bersikap/bertindak secara otomatis. Karakter yang sesuai dengan ajaran
Islam disebut akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed
Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, 1975). Untuk meraih karakter
ini, ada dua jalan yang bisa dilakukan. Pertama, bawaan lahir sebagai karunia
dari Allah SWT. Contoh dari kategori ini ialah akhlak para nabi. Kedua, hasil
usaha melalui pendidikan dan penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim
Educational Thought in The Middle Ages, 1988).
Untuk
menciptakan generasi yang memiliki karakter akhlaqul karimah, ada enam prinsip
yang menjadi parameter pendidikan karakter yang baik. Keenam prinsip tersebut
antara lain:
1.
Menjadikan Allah Sebagai Tujuan
Berbeda
dengan masyarakat sekuler yang mengimani “ide ketuhanan”, umat Islam mengimani
Allah sebagai Tuhan yang wujud, sehingga ketaatan kepadaNya menjadi mutlak.
Masyarakat sekuler tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar wujud
atau sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai
Pemikiran Islam, 1993). Ide tersebut diimani
karena memberikan pengaruh baik bagi manusia. Meski demikian, konsep tersebut tidak
mampu menjelaskan keajaiban yang dialami Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu
untuk menyembelih putranya.
Islam, disisi lain, mengajarkan agama sebagai penuntun
dunia menuju keridhaan Allah. “Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”[QS.
al-Dzaariyaat 56]. Untuk mencapai keridhaan Allah inilah, manusia wajib
menghiasi diri dengan akhlak mulia (Sherif, 1975).
2.
Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional
Akal merupakan modal utama untuk mencapai iman dan
keridhaan Allah. Mustahil bagi manusia untuk meraih karakter yang mulia tanpa
didasari pemahaman atas perilaku-perilaku yang ada dalam kehidupannya. Allah
SWT berfirman dalam QS. At-Tariq ayat 5 (yang artinya): Maka
hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari
apakah dia diciptakan?
Pada awal pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi
tentang perilaku yang baik, maupun yang buruk. Metode ini dipilih karena
mereka belum mampu memahami alasan pelarangan atau perintah tesebut. Sejalan
dengan perkembangan kognitif mereka, pendidikan karakter perlu memperhatikan
alasan yang rasional. Rasulullah Saw sering melakukan dialog dengan para
sahabatnya dalam rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar
dalam hadist berikut: “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai
berada di depan pintu salah satu dari kalian, sehingga ia mandi darinya sehari
lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat menyahut,
“Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi melanjutkan,
“Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus
kesalahan-kesalahan.” [HR.
Muslim]
3.
Memperhatikan Perkembangan
Kecerdasan Emosi
Emosi merupakan karunia
Allah SWT yang mempengaruhi manusia dalam perilakunya. Pendidikan karakter yang
baik hendaknya memperhatikan pendidikan emosi, yakni bagaimana melatih emosi
anak agar dapat berperilaku baik. Kemampuan kognitif tanpa didukung dengan
kecerdasan emosi menyebabkan manusia bertindak diluar nilai-nilai akhlaq dan
rasional. Rasulullah SAW mencontohkan pembangunan kecerdasan emosi saat seorang
pemuda datang meminta ijin berzina. Beliau memberikan pertanyaan dan penjelasan
yang menyentuh faktor emosinya, menuntunnya pada pemahaman bahwa apa yang
dilakukannya akan menyakiti orang lain.
4.
Praktik Melalui Keteladanan dan
Pembiasaan
Manusia merupakan peniru
ulung. Tidak mengherankan jika pendidikan karakter yang efektif selalu
didasarkan pada keteladanan dan pembiasaan. Dalam mendidik karakter umat Islam,
Rasulullah menempatkan dirinya sebagai suri tauladan. Allah SWT berfirman dalam
QS. Al-ahzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
5.
Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan
Hidup
Orang yang berkecukupan
memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk melakukan perbuatan yang tercela.
Oleh karena itu, Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok
masyarakat. Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa
mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan barangsiapa mati
meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah
penanggungnya.” (HR. Muslim). Dengan
adanya jaminan atas kebutuhan dasar hidup, ummat dapat lebih terkondisikan
untuk melakukan perilaku akhlaqul karimah.
6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas
Kurang efektifnya pendidikan karakter sering
disebabkan oleh perbedaan prioritas dalam memandang nilai. Dalam Islam,
prioritas perbuatan dibagi menjadi wajib,sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Penilaian moralitas, sama halnya dengan perkara lain, juga didasarkan pada
pembagian prioritas tersebut. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk
mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengajarkannya kepada
murid-murid.
Demikian enam prinsip pendidikan karakter.
Prinsip-prinsip tersebut perlu dipenuhi untuk menciptakan pendidikan
karakter yang ideal dan sukses.
Perilaku
negatif para siswa sekarang menuntut pendidikan untuk lebih memperhatikan
mereka, apakah murid yang tawuran itu ingin menunjukkan jati dirinya sebagai
manusia dan karena tidak tahu bagaimana cara menarik perhatian orang lain,
akhirnya menempuh cara instan dengan melakukan tawuran.
Coba
kita cari akar permasalahan dari setiap kegiatan peserta didik tersebut lalu
mencari solusinya, agar mereka mencari perhatian dari prestasi diri dan
prestasi kegiatan yang mereka ikuti.
Untuk
memiliki siswa dan peserta yang mempunyai karakter yang baik, atau dalam agama
islam biasa disebut dengan akhlaqul karimah tidak bisa dilihat hasilnya secara
langsung. Penerapan pendidikan karakter membutuhkan pembiasaan dan suri
tauladan dari orang tua, guru, masyarakat.
Pendidikan
karakter islami harus memenuhi prinsip-prinsip islam dalam penerapannya, Lalu
apa prinsip pendidikan karakter Islami ?
1.
Percaya Kepada Allah SWT
Kepercayaan
kepada allah harus ditanamkan ke dalam sanubari setiap peserta didik, bahwa
Allah SWT selalu mengawasi setiap langkah kita dan Dia akan memberikan balasan
dari setiap pekerjaan manusia. Barang siapa yang berbuat kebaikan akan
mendapatkan surga dan barang siapa yang akan melakukan kejahatan akan
dimasukkan ke dalam surga.
Apabila
setiap peserta didik sudah merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap
langkahnya, maka ia tidak akan berbuat perbuatan negatif karena takut hukuman
dari Allah SWT walaupun tidak ada manusia yang tahu. Agama Islam menuntun
manusia untuk menuju keridhoan Allah SWT. "Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribada kepada-Ku" (Q.S. Al-Dzaariyaat:
56).
2.
Memperhatikan Perkembangan Akal Manusia
Pelaksanaan
dan penerapan pendidikan karakter akan berkurang nilainya apabila peserta didik
tidak mengetahui kenapa sholat harus dilakukan dan mengapa mencuri itu dilarang
kalau tidak memahami dan manfaat perintah dan larangan tersebut.
"Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang Dia ciptakan" (Q.S.
Ath-Thoriq : 5. Ayat tersebut memerintah manusia untuk selalu menggunakan akal
fikirannya untuk berfikir bukan ?
Untuk
menumbuhkan dan merangsang peserta didik, seorang pendidik harus cerdas.
Bagaimana pendidik bisa memancing sifat kritis peserta didik, kalau dia sendiri
tidak tahu apa-apa.
3.
Memperhatikan Perkembangan Emosi Peserta Didik
Selain
memperhatikan kecerdasan akal dalam memahami manfaat dari setiap pekerjaan, seorang
pendidik harus memahami emosi siswa. Pendidikan karakter yang baik
memperhatikan pendidikan emosi, yaitu bagaimana melatih emosi anak agar dapat
berperilaku baik. Penelitian menuntukkan bahwa program pendidikan karakter yang
efektif harus diserta dengan pendidikan emosi (Elias dkk,
2008;Kessler&Fink, 2008).
Pembangunan
kecerdasan emosi sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam hadits qudsi yang
artinya "Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku
mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa.
Jika ia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku mendekatinya dengan berlari".
(Shahih Bukhari)
4.
Pendidikan dengan Keteladanan dan Pembiasaan
Hidup
dalam masyarakat yang menerapkan syariat islam merupakan langkah pendidikan keteladanan
dan pembiasaan karakter terbaik.
Pendidikan
karakter islam dapat menilik dan melihat kehidupan Rasulullah SAW. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT "Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu(yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".
(Q.S. Al-Ahzab :21)
5.
Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas
Dalam
islam dikenal dengan prioritas hukum. Prioritas hukum terbagi dalam 5 (Lima)
kategori yaitu : Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram.
Seorang
pendidik harus selalu mengkomunikasikan setiap disiplin yang hendak
dijalankannya dengan peserta didik (Siswa) dan orang tua murid sehingga setiap
aturan sekolah dapat dipahami oleh semua warga sekolah.
Itulah
prinsip pendidikan karakter islam dalam pandangan penulis untuk mewujudkan
pendidikan sekolah lebih memperhatikan masalah keagamaan dan melandaskan setiap
aturan dalam sekolah sesuai syariat islam.
Pendidikan Islam Berkarakter
Pendidikan
merupakan suatu elemen penting didalam membangun peradaban manusia kearah yang
lebih baik. Melalui proses pendidikan manusia akan diajak berfikir tentang
hakikat dan tujuan ia diciptakan, tentang mengembangkan potensi diri,
memanfaatkan sumber daya hingga penyeimbangan hubungan antara manusia dan alam
pun akan dipelajari manusia melalui proses pendidikan.
Hal
terpenting yang perlu kita dalami sebagai seorang tenaga kependidikan atau
calon tenaga kependidikan ialah bahwasannya pendidikan bukanlah sekedar proses
mendidik semata, namun lebih kompleks didalamnya terdapat sebuah proses
penanaman karakter, dimana melalui proses pembangunan karakter inilah yang
menjadi suatu tolak ukur bagi kita untuk menilai hasil dari suatu proses
pendidikan. Dengan pendidikan karakter inilah akan muncul ciri khas suatu
bangsa dalam bentuk jati diri, kebanggaan dan letak kehormatan bangsa tersebut
dimata bangsa yang lain.
Dalam lingkup ajaran agama Islam, pendidikan karakter telah ditanamkan kepada manusia sejak manusia tersebut diciptakan. Pendidikan karakter didalam pandangan islam merupakan proses pendidikan yang lebih mengedepankan kualitas daripada ahlak. Sebuah ahlak yang baik maka akan berbuah karakter yang baik, begitu juga sebaliknya, pemupukan terhadap keburukan-keburukan ahlak akan menimbulkan karakter yang dikenal sebagai jati diri juga akan buruk.
Pendidikan berkarakter bukanlah pendidikan yang sekadar pendidikan yang berorientasi pada nilai atau hasil akhir, namun lebih menekankan pada proses pendidikan tersebut, sementara hasil akhir hanyalah sebagai bahan evaluasi dari keberhasilan dari proses pendidikan tersebut.
Jika kita membuat sebuah perbandingan tentang bagaimana pendidikan kita saat ini, justru akan kita dapati bahwasannya pendidikan kita sangat jauh dari pada konsep pendidikan berkarakter, sebab kita lebih menekankan agar peserta didik memperoleh nilai setinggi-tinggi mungkin sementara tidak ada kontrol yang jelas bagaimana upaya mencapainya. Oleh sebab itu, tidak jarang kita menemukan begitu banyak kecurangan didalam proses pendidikan yang seharusnya tempat tersebut dijadikan sebagai wadah menanaman karakter bagi siswanya.
Didalam sebuah kesempatan pada kegiatan National Summit dan peringatan hari Ibu Presiden Republik Indonesia sempat menyinggung mengenai penekanan terhadap pendidikan Karakter (Character Building) hal ini menunjukkan bahwasannya pendidikan berkarakter merupakan suatu pola pendidikan yang sangat penting dimana dari hasil pendidikan ini akan tercipta pribadi-pribadi dengan watak yang unggul dan mulia dengan 5 asumsi sebagai berikut :
- Manusia
yang bermoral, berahlak dan berprilaku mulia.
- Manusia
yang cerdas dan rasional.
- Manusia
yang inovatif dan bergerak maju.
- Manusia
yang berjiwa optimistis, dan
- Manusia
yang berjiwa patriotik, mencintai bangsa dan negaranya.
Hadirnya
Islam hendaknya menjadi agen yang berada pada garda terdepan didalam menyokong
pembangunan karakter melalui pendidikan. Didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah
jelas begitu banyak yang membahas tentang membangun karakter umat islam yang
unggul, berwibawa serta bernilai bagi orang lain.
Alasan Pentingnya Nilai
Karakter Dalam Perangkat Pembelajaran
Pengintegrasian pendidikan
karakter ke dalam semua materi pembelajaran dilakukan dalam rangka
mengembangkan kegiatan intervensi. Substansi nilai sesungguhnya secara
eksplisit atau implisit sudah ada dalam rumusan kompetensi (SKL, SK, dan KD)
dalam Standar Isi (Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah), serta perangkat
kompetensi masing-masing program studi di pendidikan tinggi atau PNFI. Yang
perlu dilakukan lebih lanjut adalah memastikan bahwa pembelajaran materi
pembelajaran tersebut memiliki dampak instruksional, dan, atau dampak pengiring
pembentukan karakter.
Pengintegrasian nilai dapat
dilakukan untuk satu atau lebih dari setiap pokok bahasan dari setiap materi
pembelajaran. Seperti halnya sikap, suatu nilai tidaklah berdiri sendiri,
tetapi berbentuk kelompok. Secara internal setiap nilai mengandung elemen
pikiran, perasaan, dan perilakiu moral yang secara psikologis saling
berinteraksi.
Karakter terbentuk dari
internalisasi nilai yang bersifat konsisten, artinya terdapat keselarasan antar
elemen nilai. Sebagai contoh, karakter jujur, terbentuk dalam satu kesatuan
utuh antara tahu makna jujur (apa dan mengapa jujur), mau bersikap jujur, dan
berperilaku jujur. Karena setiap nilai berada dalam spektrum atau kelompok
nilai-nilai, maka secara psikologis dan sosiokultural suatu nilai harus koheren
dengan nilai lain dalam kelompoknya untuk membentuk karakter yang utuh. Contoh:
karakter jujur terkait pada nilai jujur, tanggung jawab, peduli, dan nilai
lainnya. Orang yang berperilaku jujur dalam membayar pajak, artinya ia peduli
pada orang lain, dalam hal ini melalui negara, bertanggung jawab pada pihak
lain, artinya ia akan membayar pajak yang besar dan pada saatnya sesuai dengan
ketentuan. Oleh karena itu, bila semua pembayar pajak sudah berkarakter jujur,
tidak perlu ada penagih pajak, dan tidak akan ada yang mencari keuntungan untuk
dirinya sendiri dari prosedur pembayaran pajak. Proses pengintegrasian nilai
tersebut, secara teknologi pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut[1][12].
a. Nilai-nilai tersebut
dicantumkan dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
b. Pengembangan nilai-nilai
tersebut dalam silabus ditempuh antara lain melalui cara-cara sebagai berikut:
1) Mengkaji Standar Kompetensi
(SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada pendidikan dasar dan pendidikan memengah,
atau kompetensi program studi pada pendidikan tinggi, atau standar kompetensi
pendidikan nonformal.
2) Menentukan apakah kandungan
nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam SK dan KD
atau kompetensi tersebut sudah tercakup di dalamnya.
3) Memetakan keterkaitan
antara SK/KD/kompetensi dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang
akan dikembangkan.
4) Menetapkan nilai-nilai atau
karakter dalam silabus yang disusun, dan mencantumkan nilai-nilai yang sudah
tercantum dalam silabus ke RPP.
5) Mengembangkan proses
pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki
kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang
sesuai.
6) Memberikan bantuan kepada
peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun untuk
menunjukkannya dalam perilaku.
Dasar Pembentukan Karakter
Dasar pembentukan karakter
itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat
dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia
merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan
nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai
etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi
negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan)[2][13]. Nilai-nilai
etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa:
Pertama, kekuatan spiritual.
Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa,
yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk
menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);
Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm
(akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb
(hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa
yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya
manusia yang memiliki kekuatan luar biasa.
Ketiga, sikap dan perilaku
etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan
spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan
konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis
itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan
amal saleh.
Energi
positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang
berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs
al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini
dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena
memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity
(kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan
dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu
disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût
(nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana
pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati
nurani), nilai-nilai material (thâghût ) justru berfungsi
sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir
sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:
Pertama, kekuatan thaghut.
Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq
(kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang
kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan
kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang
serba material (asfala sâfilîn);
Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah
(pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun
mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah
(jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah
selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût).
Ketiga, sikap dan perilaku
tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari
kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian
melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya
busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb
al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât
(destruktif).
Energi
negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang
berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs
lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang
yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus
(hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan
kompetensi yang dimiliki.
Unsur-Unsur Karakter
Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan
sosiologis perlu dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri
manusia. adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan
dan kebiasaan[3][14].
Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu
akan membuat orang lain menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian
juga halnya emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self
Conception).
1) Sikap
Sikap
seseorang biasanya adalah merupakan bagian karakternya, bahkan dianggap sebagai
cerminan karakter seseorang tersebut. Tentu saja tidak sepenuhnya benar, tetapi
dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada
dihadapannya menunjukkan bagaimana karakternya.
2) Emosi
Emosi
adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai
dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis.
3) Kepercayaan
Kepercayaan
merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan
bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas,
pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter
manusia. jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh
hubungan denga orang lain.
4) Kebiasaan
dan Kemauan
Kebiasaan
adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek
perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak
direncanakan. Sementara itu, kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan
karakter seseorang.
Ada orang yang kemauannya keras,
yang kadang ingin mengalahkan kebiasaan, tetapi juga ada orang yang kemauannya
lemah. Kemauan
erat berkaitan dengan tindakan, bahakan ada yag mendefinisikan kemauan sebagai
tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
5) konsep
diri (Self Conception)
Hal
penting lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter adalah konsep
diri. Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak
sadar, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Dalam proses konsepsi
diri, biasanya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih
dahulu. Citra diri dari orang lain terhadap kita juga akan memotivasi kita
untuk bangkit membangun karakter yang lebih bagus sesuai dengan citra. Karena
pada dasarnya citra positif terhadap diri kita, baik dari kita maupun dari
orang lain itu sangatlah berguna.
Arah
dan Metode
Pendidikan Karakter dalam Perspektif
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan karakter
seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan
menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh.
Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple
intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat
digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah,
ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[4][15].
Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan
pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada
asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan
pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient)[5][16].
Gambaran di
atas menunjukkan metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik
yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah
kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa
kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk
menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan memberdayakan anak
didik akan potensi fitrahnya.
Untuk
mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan metode tilawah tujuannya agar
anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk
mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm,
yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan
pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini
sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke
depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak yang
memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan mujtahid. Ulul Albab
adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan
intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami fenomena ciptaan
Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid
adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya.
Hasilnya yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan
maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak
yang saleh (waladun shalih).
Pendayagunaan
potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan
melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan
mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada
guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.
Metode
tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan
empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan
sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran
mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata
pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan
hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk
menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari
penerapan metode tarbiyah.
Metode
ta’dîb digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam
diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan
pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah
terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out
put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid.
Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa
terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid
ini Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi
pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu
itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.
Metode
tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih
berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam
pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening)
dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa
yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah.
Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan
menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang
Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa
mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Metode
tadlrîb (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik,
psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrîb
adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya
adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet,
tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu
memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan,
kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode pembelajaran yang
digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua
dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di
sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission
screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak
didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan
pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu
terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur.
Metode
pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan
substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri [6][17].
Tujuan Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Tujuan yang paling mendasar
dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart.
Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya
dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik
(good character).[7][18]
Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti Socrates,
Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang
disuarakan nabi Muhammad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adaah tujuan
yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.
Begitu juga dengan Marthin
Luther King menyetujui pemikiran nabi Muhammad tesebut dengan menyatakan “Intelligence
plus character, that is the true aim of education”[8][19].
Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Selain itu, pendidikan
karakter mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Mengembangkan potensi dasar
peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik,
dan berperilaku baik.
b. Memperkuat dan membangun
perilaku masyarakat yang multikultur.
c. Meningkatkan peradaban
bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Terlepas dari pandangan di
atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan karakter atau akhlak adalah agar
manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan
tingkah laku sebagai sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari
akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya.
Menurut Said Agil tujuan pendidikan adalah “membentuk manusia yang beriman,
berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi
serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.”
Dengan kata lain,
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam
perspektif pendidikan agama Islam di
Indonesia
itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua,
supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa
terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh
yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan
keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang
baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk.
Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang
dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.[9][20]
Meskipun dalam pelaksanaannya, tujuan dari pendidikan
karakter itu sendiri dapat dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara
benar dan menggunakan media yang tepat. Pendidikan karakter dilakukan
setidaknya melalui berbagai media, yang di antarnya mencakup keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan
media massa.
Kesimpulan
Istilah
karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain
berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau
akhlak.
Dasar pembentukan karakter
itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat
dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia
merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan
nilai buruk dalam bentuk energi negatif. adapun unsur-unsur
tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan
Dalam Islam terdapat
beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran.
Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah
dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; Ta’lim terkait dengan
pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); Tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya ada asah, asih dan
asuh; Ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional
quotient); Tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual
(spiritual quotient); Tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik
atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient)
Tujuan dari pendidikan
karakter dalam perspektif pendidikan Islam di Indonesia itu adalah: pertama,
supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi
manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara
dengan baik dan harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul majid, Dian andayani. 2010. Pedidikan
karakter dalam perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama
Abuddin Nata. 2003. Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Ahmad Zayadi, Abdul Majid. 2005. Tadzkirah
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Amru Khalid. 2008. Tampil Menawan
Dengan Akhlak Mulia. Jakarta: Cakrawala Publishing
Aunillah. 2011. Panduan
menerapkan pendidikan karakter disekolah. Jakarta: Trans Media
Fadlullah. 2008. Orientasi Baru
Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media
Fatchul Mu’in. 2011. Pedidikan
karakter kontruksi teoritik dan praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Mochtar
Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita . Kompas
Rekonstruksi
Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara,
Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
Saifuddin Aman. 2008. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. Jakarta:
Al Mawardi Prima Zubaedi. 2011. Design pendidikan karakter. Jakarta:
Kencana
[10][1]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-Islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[11][2] Fatchul
Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 323
[13][4] Abdul
majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam.
(Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm.
11
[15][6] Abuddin
Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007),
hlm. 219
[16][7] Amru
Khalid. Tampil menawan Dengan Akhlak Mulia. (Jakarta: Cakrawala Publishing,
2008) , hlm. 37
[17][8] Abdul
majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam.
(Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 61
[18][9] Ahmad
Zayadi, Abdul Majid. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 178
[19][10] Ibrahim Bafadal dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[20][11] Ulfiarahmi dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Policy%20Brief%20Edisi%204. Yang
diakses pada tanggal 01 April 2012
[1][12] Ulfiarahmi dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 april 2012
[2][13]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[3][14] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek.
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168
[5][16] Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[6][17] Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
[7][18] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam.
(Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
[8][19] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan
karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Berika Komentarnya